Beberapa bulir pasal dalam
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739) mengalami
pengubahan/revisi yang dituangkan dalam Undang-Undang No.1 tahun 2014
diantaranya sebagai berikut:
1.
Pasal 1
Pada pasal
1 ada beberapa angka yang diubah antara lain angka 1, angka 17, angka 18, angka
19, angka 23, angka 26, angka 28, angka 29, angka 30, angka 31, angka 32, angka
33, angka 38, dan angka 44 diubah, dan di antara angka 18 dan angka 19
disisipkan 1 (satu) angka yakni angka 18A, serta di antara angka 27 dan angka
28 disisipkan 1 (satu) angka yakni angka 27A.
Berikut akan
dijabarkan penjelasan masing-masing angka yang mengalami perubahan
Ø Angka 1
UU No. 27 Tahun 2007 :"Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses
perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara
ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.”
UU No. 1 Tahun 2014 : “Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu pengoordinasian perencanaan,
pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau
kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antarsektor, antara
ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat.”
Perubahan : Terdapat penambahan kata “pengkoordinasian”
serta kata “dilakukan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah” . Hal ini dimaksudkan untuk lebih menekankan bahwa
Pemerintah dan Pemerintah daerah berperan dalam proses pengoordinasian
perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan
pulau-pulau kecil.
Ø Angka 17
UU No. 27 Tahun 2007 : “Rencana Zonasi Rinci adalah rencana detail
dalam 1 (satu) Zona berdasarkan arahan pengelolaan di dalam Rencana Zonasi yang
dapat disusun oleh Pemerintah Daerah dengan memperhatikan daya dukung
lingkungan dan teknologi yang dapat diterapkan serta ketersediaan sarana yang
pada gilirannya menunjukkan jenis dan jumlah surat izin yang dapat diterbitkan
oleh Pemerintah Daerah.”
UU No. 1 Tahun 2014 : “Rencana Zonasi Rinci adalah rencana detail
dalam 1 (satu) Zona berdasarkan arahan pengelolaan di dalam Rencana Zonasi
dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan teknologi yang diterapkan serta
ketersediaan sarana yang pada gilirannya menunjukkan jenis dan jumlah surat
izin yang diterbitkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.”
Perubahan
: terdapat penghapusan beberapa kata yaitu “yang
dapat disusun oleh Pemerintah Daerah”, dan pada baris terakhir ditambahkan
kata Pemerintah. Artinya bahwa Rencana
Zonasi Rinci tidak hanya dapat diterbitkan oleh Pemerintah Daerah, namun juga
dapat diterbitkan oleh Pemerintah dalm keadaan tertentu.
Ø Angka 18
UU No. 27 Tahun 2007 : “Hak Pengusahaan Perairan Pesisir,
selanjutnya disebut HP-3, adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan
pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait
dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas
permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas
keluasan tertentu.”
UU No. 1 Tahun 2014 : “Izin Lokasi adalah izin yang diberikan
untuk memanfaatkan ruang dari sebagian Perairan Pesisir yang mencakup permukaan
laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan
tertentu dan/atau untuk memanfaatkan sebagian pulau-pulau kecil.
Perubahan : Pada Undang-Undang hasil
revisi Hak Pengusahaan Perairan Pesisir
(HP3) yang dibahas pada UU No. 27 Tahun 2007 dihapuskan, dan diubah menjadi Hak Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan”
Antara angka 18 dan angka 19
disisipkan 1 (satu) angka yakni angka 18A
Ø Angka 18 A
Angka 18A berisi penjelasan lebih
lanjut mengenai Angka 18. Pada angka ini dijelaskan mengenai Definisi Izin Pengelolaan, yaitu izin yang
diberikan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan
perairan pulau-pulau kecil.
Ø Angka 19
UU No. 27 Tahun 2007 : “Konservasi
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian,
dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk
menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragamannya.”
UU No. 1 Tahun 2014 : “Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil adalah upaya pelindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan,
ketersediaan, dan kesinambungan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.”
Perubahan : Terdapat perbaikan kata
“Perlindungan” diubah menjadi “Pelindungan”. Dimaksudkan agar kata yang
tertera pada Undang-Undang Revisi sesuai berkenaan dengan Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD)
Ø Angka 23
UU No. 27 Tahun 2007 : “Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan
oleh Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari
sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan
atau drainase.”
UU No. 1 Tahun 2014 : “Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan
oleh Setiap Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau
dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan
lahan atau drainase.”
Perubahan : Terdapat penambahan kata
“Setiap” sebelum kata “Orang”, hal ini mungkin dimaksudkan
penulis atau pembuat revisi untuk memperbaiki struktur kalimat agar tidak
terdengar janggal.
Ø Angka 26
UU No. 27 Tahun 2007 : “Bencana Pesisir adalah kejadian karena
peristiwa alam atau karena perbuatan Orang yang menimbulkan perubahan sifat
fisik dan/atau hayati pesisir dan mengakibatkan korban jiwa, harta, dan/atau
kerusakan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.”
UU No. 1 Tahun 2014 : “Bencana Pesisir adalah kejadian karena
peristiwa alam atau karena perbuatan Setiap Orang yang menimbulkan perubahan
sifat fisik dan/atau hayati Pesisir dan mengakibatkan korban jiwa, harta,
dan/atau kerusakan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.”
Perubahan : Terdapat penambahan kata
“Setiap” sebelum kata “Orang”, hal ini mungkin dimaksudkan
penulis atau pembuat revisi untuk memperbaiki struktur kalimat agar tidak
terdengar janggal.
Ø Angka 27A
Angka 27A
membahas mengenai definisi Dampak Penting dan Cakupan yang Luas serta Bernilai
Strategis, yaitu perubahan yang berpengaruh terhadap kondisi biofisik seperti
perubahan iklim, ekosistem, dan dampak sosial ekonomi masyarakat bagi kehidupan
generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Hal ini dimaksudkan pembuat
Undang-Undang Revisi untuk memperjelas Angka 27.
Ø
Angka
28
UU No. 27 Tahun 2007 : “Pencemaran
Pesisir adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan pesisir akibat adanya kegiatan Orang sehingga
kualitas pesisir turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan
pesisir tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.”
UU No. 1 Tahun 2014 :
“Pencemaran Pesisir adalah masuknya atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan Pesisir akibat adanya kegiatan Setiap Orang sehingga kualitas
Pesisir turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan Pesisir
tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.”
Perubahan : Terdapat penambahan kata
“Setiap” sebelum kata “Orang”, hal ini mungkin dimaksudkan
penulis atau pembuat revisi untuk memperbaiki struktur kalimat agar tidak
terdengar janggal.
Ø Angka 29
UU No. 27 Tahun 2007 : “Akreditasi adalah prosedur pengakuan suatu kegiatan
yang secara konsisten telah memenuhi standar baku sistem Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang meliputi penilaian, penghargaan, dan
insentif terhadap program-program pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat
secara sukarela.”
UU No. 1 Tahun 2014 : “Akreditasi
adalah prosedur pengakuan suatu kegiatan yang secara konsisten telah memenuhi
standar baku sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
meliputi penilaian, penghargaan, dan insentif terhadap program pengelolaan yang
dilakukan oleh Masyarakat secara sukarela.”
Perubahan : Terdapat Pengubahan kata
“program - program” menjadi “program” hal ini dimaksudkan pembuat
Undang-Undang Revisi untuk membuat kalimat pada definisi Akreditasi menjadi
lebih efektif.
Ø Angka 30
UU No. 27 Tahun 2007 : “Pemangku Kepentingan Utama adalah para
pengguna Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai kepentingan
langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil, seperti nelayan tradisional, nelayan modern, pembudidaya ikan, pengusaha
pariwisata, pengusaha perikanan, dan Masyarakat Pesisir.”
UU No. 1 Tahun 2014 : “Pemangku
Kepentingan Utama adalah para pengguna Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang mempunyai kepentingan langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, seperti nelayan tradisional, nelayan
modern, pembudi daya ikan, pengusaha pariwisata, pengusaha perikanan, dan
Masyarakat.”
Perubahan : Terdapat Pengubahan kata
dari kata “pembudidaya” menjadi “pembudi daya” dalam hal ini dimaksudkan
pembuat Undang-Undang Revisi agar kata yang tertera pada Undang-Undang Revisi
sesuai berkenaan dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) selain itu terdapat pula
penghapusan kata “Pesisir”setelah kata”Masyarakat”.
Ø Angka 31
UU No. 27 Tahun 2007 : “Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya
pemberian fasilitas, dorongan atau bantuan kepada Masyarakat Pesisir agar mampu
menentukan pilihan yang terbaik dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil secara lestari.”
UU No. 1 Tahun 2014 : “Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya
pemberian fasilitas, dorongan, atau bantuan kepada Masyarakat dan nelayan
tradisional agar mampu menentukan pilihan yang terbaik dalam memanfaatkan
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara lestari.”
Perubahan : Terdapat penggantian
kata yaitu dari kata “Masyarakat Pesisir”
diganti dengan kata “Masyarakat dan Nelayan
tradisional”.
Ø Angka 32
UU No. 27 Tahun 2007 : “Masyarakat adalah masyarakat yang terdiri
dari Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal yang bermukim di Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.”
UU No. 1 Tahun 2014 : “Masyarakat
adalah masyarakat yang terdiri atas Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Lokal,
dan Masyarakat Tradisional yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil.”
Perubahan : Terdapat Pengubahan kata
dari kata “terdiri atas” menjadi “terdiri dari”hal ini dimaksudkan pembuat
Undang-undang revisi agar Kalimat sesuai dengan Ejaan Yang Diisempurnakan
(EYD), Penyisipan kata “Hukum”
diantara kata “Masyarakat Adat” hal
ini dimaksudkan untuk meemberikan penekanan bahwa Masyarakat adat juga
berlandaskan pada hukum, dan Penambahan
kata “ Masyarakat Tradisional” dimaksudkan
definisi yang ingin dicapai juga mencakup Masyarakat Tradisional.
Ø Angka 33
UU No. 27 Tahun 2007 : “Masyarakat Adat adalah kelompok Masyarakat
Pesisir yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena
adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Sumber
Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan
pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.”
UU No. 1 Tahun 2014 : “Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok
orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di
Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur,
hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata
pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Perubahan : Terdapat Penyisipan kata
“Hukum” diantara kata “Masyarakat Adat”, mengubah kalimat “kelompok Masyarakat Pesisir” menjadi “sekelompok orang”, Penambahan kalimat “di Negara Kesatuan Republik Indonesia”, Pengubahan
kalimat “adanya hubungan yang kuat dengan
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta adanya sistem nilai yang
menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.” Menjadi “hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah,
sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di
wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Ø Angka 38
UU No. 27 Tahun 2007 : “Orang adalah orang perseorangan dan/atau
badan hukum.”
UU No. 1 Tahun 2014 : “Setiap Orang adalah orang perseorangan atau
korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.”
Perubahan : Terdapat Penambahan kata
“Setiap” sebelum kata “Orang”, memperjelas “badan hukum” menjadi “korporasi, baik yang berbadan hukum maupun
yang tidak berbadan hukum.”
Ø Angka 44
UU No. 27 Tahun 2007 : “Menteri adalah Menteri yang bertanggung
jawab di bidang kelautan dan perikanan.”
UU No. 1 Tahun 2014 : “Menteri adalah menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.”
Perubahan : Pengubahan kata “bertanggung jawab” menjadi kalimat “menyelenggarakan urusan pemerintahan”dalam
hal ini Menteri lebih didefinisikan sebagai penyelenggara urusan pemerintahan
di bidang kelautan dan perikanan, dan bukan hanya sekedar penanggung jawab
2.
Pasal 14
Ø Ayat 1
UU No. 27 Tahun 2007 : “Usulan penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K,
RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K dilakukan oleh Pemerintah Daerah serta dunia usaha.”
UU No. 1 Tahun 2014 : “Usulan penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K,
RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Masyarakat, dan dunia
usaha.”
Perubahan : Terdapat penyisipan kata
“Masyarakat” diantara kata “Pemerintah Daerah” dan “dunia usaha”, hal ini dimaksudkan
Masyarakat juga dapat melakukan usulan penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K,
dan RAPWP-3-K disamping Pemerintah Daerah dan Dunia Usaha.
Ø Ayat 7
UU No. 27 Tahun 2007 : “Dalam hal tanggapan dan/atau saran
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dipenuhi, maka dokumen final
perencanaan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dimaksud
diberlakukan secara definitif.”
UU No. 1 Tahun 2014 : “Dalam hal tanggapan dan/atau saran
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dipenuhi, dokumen final perencanaan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dimaksud diberlakukan secara
definitif.”
Perubahan : Terdapat Penghilangan
kata “maka”, hal ini dimaksudkan
pembuat Undang-Undang Revisi agar kalimat lebih efisien
3.
Judul Bagian Kesatu pada Bab V diubah yang semula tertulis “Hak Pengusahaan Perairan Pesisir”
diubah menjadi “Izin”. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir ini dihapuskan dengan
analisis alasan yang sama dengan pasal 1 ayat 18 yang juga dihapus bagian
mengenai HP3 karena rentan terjadinya penyalahgunaan Hak, dan dimungkinkan
adanya transaksi fiktif atas Perairan Pesissir.
4.
Pasal 16
Ayat 1 dan Ayat 2 pada pasal 16
diubah karena masih menggunakan HP3, selanjutnya pada pasal 16 Ayat 1 dan 2
diubah menjadi seperti berikut iI
Ayat 1: “Setiap
Orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian Perairan Pesisir dan
pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap wajib memiliki Izin
Lokasi.”
Ayat 2: “Izin
Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar pemberian Izin
Pengelolaan”.
Perubahan : Pasal
16 ini disempurnakan untuk memperjelas kegunaan fungsi izin lokasi dan izin
pengelolaan, selai itu juga untuk menghindari adanya penyalahgunaan dalam
pemanfaatan Perairan Pesisir.
5.
Pasal 17
Pasal 17 yang sebelumnya juga berisi
penjelasan mengenai HP3 juga diubah, dari 2 Ayat menjadi 4 Ayat pada UU No.1
Tahun 2014. Ke empat ayat tersebut berisi penjelasan mengenai Izin Lokasi, yang
menekanakan bagaimana pemberian Izin Lokasi sehingga tidak terjadi kesalahan
dalam pemberian izin lokasi karena sudah diatur dengan jelas. Berikut
penyempuranaan pasal yang dilakukan:
Ayat 1 : “Izin
Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) diberikan berdasarkan
rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.”
Ayat 2 : “Pemberian Izin Lokasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mempertimbangkan kelestarian Ekosistem
pesisir dan pulau-pulau kecil, Masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan
nasional, dan hak lintas damai bagi kapal asing.”
Ayat 3 : “Izin
Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam luasan dan waktu
tertentu.”
Ayat 4 : “Izin Lokasi tidak dapat
diberikan pada zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan,
dan pantai umum.”.
6.
Pasal 18
Pada UU
No.27 tahun 2007 Pasal 18 masih menggunakan HP3 sehingga pasal 18 diubah,
karena HP3 sudah dihapuskan karena berpotensi menimbulkan penyalahgunaan
Perairan Pesisir, selanjutnya pasal 18 menjelasakan mengenai Pemegang Izin
Lokasi.
7.
Pasal 19
Pasal 19 juga masih menggunakan HP3
sehingga dilakukan perubahan, pasal 19 yang disempurnakan sebagai berikut:
Ayat 1: Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan sumber daya
Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil untuk kegiatan:
§ produksi garam;
§ biofarmakologi laut;
§ bioteknologi laut;
§ pemanfaatan air laut selain energi;
§ wisata bahari;
§ pemasangan pipa dan kabel bawah
laut; dan/atau
§ pengangkatan benda muatan kapal
tenggelam,
wajib memiliki Izin Pengelolaan
Ayat 2: “Izin Pengelolaan untuk kegiatan selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.”
Ayat 3: Dalam hal terdapat kegiatan
pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang
belum diatur berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
8.
Pasal 20
Pada UU No.27 Tahun 2007 Pasal 20
berisi:
Ayat 1: HP3 dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan
utang dengan dibebankan hak tanggungan.
Ayat 2: HP3 diberikan dalam bentuk
sertifikat HP-3.
Ayat 3: HP3 berakhir karena:
o
jangka waktunya habis dan tidak
diperpanjang lagi;
o
ditelantarkan; atau
o
dicabut untuk kepentingan umum.
Ayat 4: Tata cara pemberian,
pendaftaran, dan pencabutan HP3 diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Kemudian pada UU No.1 tahun 2014
pasal 20 diubah menjadi:
Ayat 1: Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi pemberian Izin Lokasi dan Izin
Pengelolaan kepada Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional.
Ayat 2: Izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Masyarakat Lokal dan Masyarakat
Tradisional, yang melakukan pemanfaatan ruang dan sumber daya Perairan Pesisir
dan perairan pulau-pulau kecil, untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Perubahan yang dilakukan yakni
menghilangkan penggunaan HP3 pada pasal 20, kemudian dilakukan penambahan peran
pemerintah dan pemerintah daerah mengenai izin lokasi dan izin pengelolaan
serta penerima Izin tersebut.
9.
Pasal 21
Pada pasal 21 dilakukan penghapusan
aturan mengenai HP3 kemudian asal 21 diubah menjadi:
Ayat 1: Pemanfaatan ruang dan sumber daya Perairan
Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil pada wilayah Masyarakat Hukum Adat oleh
Masyarakat Hukum Adat menjadi kewenangan Masyarakat Hukum Adat setempat.
Ayat 2: Pemanfaatan ruang dan sumber daya Perairan Pesisir dan
perairan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
mempertimbangkan kepentingan nasional dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pengubahan pasal ini guna
menambahkan aturan agar pemanfaatan ruang dan sumber daya Perairan Pesisir dan
Peraiaran Pulau-Pulau Kecil dapat terlaksana dengan tepat.
10. Pasal
22
UU No. 27
Tahun 2007 : Menjelaskan dan mengatur tentang HP-3
UU No. 1
Tahun 2014 : Menjelaskan dan mengatur
tentang izin lokasi dan izin pengelolaan.
Aturan
mengenai HP3 diubah dengan aturan mengenai kewajiban memiliki izin dan Masyarakat
Hukum Adat,
11. Pasal
22A,
Pasal 22A
adalah pasal hasil penambahan, sebelumnya pasal ini tidak terdapat pada UU No. 27
tahun 2007. Penambahan ini dilakukan agar izin lokasi yang diberikan tepat
sasaran.
12. Pasal
22B
Pasal 22B
adalah pasal hasil penambahan, sebelumnya pasal ini tidak terdapat pada UU No. 27
tahun 2007. Penambahan dilakukan agar orang perseorangan warga Negara Indonesia
atau korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan koperasi yang
dibentuk oleh Masyarakat yang mengajukan Izin Pengelolaan memenuhi syarat
teknis, administratif, dan operasional dalam mengajukan perijinan.
13. Pasal
22C
Pasal
22C adalah pasal hasil penambahan, sebelumnya pasal ini tidak terdapat pada UU
No. 27 tahun 2007. Penambahan dilakukan agar ada kejelasan dalam hal tentang
syarat, tata cara pemberian, pencabutan, jangka waktu, luasan, dan berakhirnya
Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan.
14. Pasal
23
Ayat 1 : tidak ada revisi.
Ayat 2
UU No. 27 Tahun 2007 : “Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan
di sekitarnya diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan berikut:
o
konservasi;
o
pendidikan dan pelatihan;
o
penelitian dan pengembangan;
o
budidaya laut;
o
pariwisata;
o
usaha perikanan dan kelautan dan
industri perikanan secara lestari;
o
pertanian organik; dan/atau
o
peternakan.
UU No. 1 Tahun 2014 : “Pemanfaatan
pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk kepentingan
sebagai berikut:
o
konservasi;
o
pendidikan dan pelatihan;
o
penelitian dan pengembangan;
o
budi daya laut;
o
pariwisata;
o
usaha perikanan dan kelautan serta
industri perikanan secara lestari;
o
pertanian organik;
o
peternakan; dan/atau
o
pertahanan dan keamanan negara.
Perubahan
: Terdapat penghilangan kalimat “salah
satu atau lebih ”, kata “budidaya”
diubah menjadi “buda daya”, Penambahan
satu poin yaitu “pertahanan dan keamanan
Negara”.
Ayat 3
UU No. 27
Tahun 2007 : Kecuali untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan, serta
penelitian dan pengembangan, pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di
sekitarnya wajib:
o
memenuhi persyaratan pengelolaan
lingkungan; memperhatikan kemampuan sistem tata air setempat; serta
o
menggunakan teknologi yang ramah
lingkungan.
UU No. 1 Tahun 2014
: Kecuali untuk tujuan konservasi,
pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan, pemanfaatan
pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya wajib:
o
memenuhi persyaratan pengelolaan
lingkungan;
o
memperhatikan kemampuan dan
kelestarian sistem tata air setempat; dan
o
menggunakan teknologi yang ramah
lingkungan
Perubahan : memecah poin (a) menjadi
2 poin, sehingga dari 2 poin direvisi menjadi 3 poin.
Ayat 4, 5, 6, dan 7 dihapuskan.
15. Pasal
26A
Pasal
26A Merupakan pasal yang baru ditambahkan sebelumnya tidak ada pada UU No.27 tahun
2007.
Ayat 1: Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya
dalam rangka penanaman modal asing harus mendapat izin Menteri.
Ayat 2: Penanaman modal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mengutamakan kepentingan nasional
Ayat 3: Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapat
rekomendasi dari bupati/wali kota
Ayat 4: Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
o
badan hukum yang berbentuk perseroan
terbatas;
o
menjamin akses publik;
o
tidak berpenduduk;
o
belum ada pemanfaatan oleh
Masyarakat Lokal;
o
bekerja sama dengan peserta
Indonesia;
o
melakukan pengalihan saham secara
bertahap kepada peserta Indonesia;
o
melakukan alih teknologi; dan
o
memperhatikan aspek ekologi, sosial,
dan ekonomi pada luasan lahan.
Ayat 5: Ketentuan
lebih lanjut mengenai pengalihan saham dan luasan lahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) huruf f dan huruf h diatur dengan Peraturan Presiden.
Penambahan
pasal ini alasannya agar apabila terdapat modal asing yang melakukan
pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya, bisa lebih mengutamakan
kepentingan nasional.
16. Pasal
30
Menjelaskan tentang Zona Inti
konservasi, yaitu Penambahan ayat dengan guna Perubahan peruntukan dan fungsi
zona inti pada kawasan konservasi untuk eksploitasi ditetapkan oleh Menteri
dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu dan dengan pertimbangan DPR.
Tata cara perubahannya diatur dalam Peraturan Menteri.
17. Pasal
50
UU
No. 27 Tahun 2007 : “Menjelaskan tentang
kewenangan memberikan HP-3”
UU
No. 1 Tahun 2014 : “Menjelaskan tentang kewenangan memberikan dan mencabut izin lokasi.”
Pasal
50 pada UU No. 27 tahun 2007 dijelaskan mengenai pemberian HP3, namun karena
HP3 sudah dihapuskan maka pada UU no.1 tahun 2014, pemberian HP3 diubah menjadi
pemberian izin lokasi yang dapat diberikan oleh Menteri, Gubernur dan
Bupati/Walikota yang berwenang.
18. Pasal
51
Ayat
1
UU
No. 27 Tahun 2007 : Menteri berwenang
menetapkan:
o
HP-3 di Kawasan Strategis Nasional
Tertentu,
o
Ijin pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil
yang menimbulkan dampak besar terhadap perubahan lingkungan, dan
o
Perubahan status Zona inti pada
Kawasan Konservasi Perairan nasional.
UU No. 1 Tahun 2014 : Menteri
berwenang:
o
menerbitkan dan mencabut izin
pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya yang
menimbulkan Dampak Penting dan Cakupan yang Luas serta Bernilai Strategis
terhadap perubahan lingkungan; dan
o
menetapkan perubahan status zona
inti pada Kawasan Konservasi Nasional.
Perubahan : Terdapat Penghilangan
poin (a) yaitu HP-3, sehingga dari 3 poin menjadi 2 poin.
19. Pasal
60
Perubahan :
Ø Pada UU No. 27 Tahun 2007 Pasal 60
Ayat 1 poin (a) dan (b) yang menjelaskan tentang hak Masyarakat untuk memperoleh HP-3
diubah dengan poin (a), (b), dan (c)
mengenai hak Masyarakat untuk memperoleh Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan serta
tentang RZWP-3-K.
Ø Untuk poin (c) sampai poin (j) tidak
ada perubahan, hanya saja bergeser menjadi poin (d) sampai pin (k).
Ø Menambahkan poin (l) yang membahas
tentang pendampingan dan bantuan hukum
terhadap permasalahan yang dihadapi dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
20. Pasal
63
Perubahan
pada Ayat 2
UU No. 27 Tahun 2007 : “Pemerintah
wajib mendorong kegiatan usaha Masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang
Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berdaya guna dan
berhasil guna.”
UU No. 1 Tahun 2014 : “Pemerintah dan Pemerintah Daerah
berkewajiban mendorong kegiatan usaha Masyarakat melalui peningkatan kapasitas,
pemberian akses teknologi dan informasi, permodalan, infrastruktur, jaminan
pasar, dan aset ekonomi produktif lainnya.”
Perubahan : Menjelaskan kegiatan
usaha masyarakat secara lebih rinci yang wajib didukung oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah untuk pemberdayaan masyarakat.
21. Pasal
71
Pada UU No 27 tahun 2007 pasal 71 berisi aturan mengenai
pelanggaran terhadap HP3 dan sanksi administratifnya kemudian aturan ini diubah
menjadi aturan mengenai pelanggaran terhadap izin lokasi dan izin pengelolaan
beserta sanksi administratifnya. Hal ini dilakukan agar semua orang tidak
melanggar ketentuan mengenai izin lokasi dan izin pengelolaan.
22. Pasal
75
UU No. 27 Tahun 2007 : Dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) setiap Orang yang karena
kelalaiannya:
o
melakukan
kegiatan usaha di Wilayah Pesisir tanpa HP-3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21ayat (1); dan/atau
o
tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4).
UU No. 1 Tahun 2014
: Setiap Orang yang memanfaatkan
ruang dari sebagian Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil
yang tidak memiliki Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Perubahan : Menjelaskan tentang ketentuan pidana, yaitu pidana kurungan paling lama 6 ( enam ) bulan
atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) setiap Orang
diubah menjadi pidana penjara paling lama
3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
23. Pasal
75A
Pasal
75A adalah pasal hasil penambahan, sebelumnya pasal ini tidak terdapat pada UU
No. 27 tahun 2007. Pasal ini berisi penjelasan mengenai sanksi apabila Setiap
Orang yang memanfaatkan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau
kecil yang tidak memiliki Izin Pengelolaan. Pasal ini dibuat agar setiap orang
menggunakan izin pengelolaan dalam memanfaatkan sumber daya Perairan Pesisir
dan perairan pulau-pulau kecil.
24. Pasal
78A
Pasal
78A adalah pasal hasil penambahan, sebelumnya pasal ini tidak terdapat pada UU
No. 27 tahun 2007. Pasal ini digunakan untuk memperjelas kewenangan menteri
dalam mengatur kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
25. Pasal
78B
Pasal
78B adalah pasal hasil penambahan, sebelumnya pasal ini tidak terdapat pada UU
No. 27 tahun 2007. Pasal ini dibuat agar izin yang sudah ada selama ini,
menyesuaikan kempali terhadap ketentuan izin untuk memanfaatkan sumber daya
Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil pada UU No. 1 tahun 2014.
Secara umum saya jabarkan hasil
analisis perubahan pasal antara UU No.27 tahun 2007 yang disempurnakan pada UU No.1 tahun
2014. Pada UU No.1 tahun 2014 terdapat pula yaitu bagian penjelasan umum
mengenai perubahan Undang-Undang. Pada bagian ini diberikan semacam penjelasan
alasan beberapa pasal yang dilakukan perubahan pada kedua Undang-Undang, yaitu
mengenai pengganti HP-3 dan Kawasan Konservasi Laut.
Adapun Hal yang
mendasari dilakukannya perubahan terhadap UU No. 27 tahun 2007 adalah adanya
putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan pasal-pasal terkait HP-3 (Hak
Pengusahaan Perairan Pesisir). HP-3 menurut UU ini adalah adalah hak atas
bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan
perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir
dan pulau-pulau kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai
dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu.
Berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut, maka istilah “hak” HP-3 dalam Perubahan UU No. 27 Tahun
2007 diganti dengan “izin lokasi” dan “izin pengelolaan”. Hal yang
membedakan dengan HP-3 pada Undang-Undang lama sebelum perubahan, dimana
masyarakat adat dan korporasi dipersaingkan untuk memperoleh HP-3.
Persaingan tersebut dianggap tidak sehat sebab korporasi memiliki modal yang
jauh lebih besar ketimbang masyarakat adat.
Beberapa
perubahan yang ditambahkan dalm UU ini adalah pengalihan pengelolaan Kawasan
Konservasi Laut yang selama ini dikelola oleh Kementerian Kehutanan kepada
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Pasal 78A menyebutkan Kawasan konservasi di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah ditetapkan melalui peraturan
perundang-undangan sebelum Undang-Undang ini berlaku adalah menjadi kewenangan
Menteri. Menteri
yang dimaksud adalah Menteri Kelautan dan Perikanan. Pasal 78A juga menjelaskan
secara lebih rinci mengenai kawasan konservasi, yaitu Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam yang berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,
dalam bentuk Taman Nasional/Taman Nasional Laut, Suaka Margasatwa Laut, Suaka
Alam Laut, Taman Wisata Laut, dan Cagar Alam Laut.
Proses
pengalihan dari UU No. 27 Tahun 2007 ke UU No.1 Tahun 2014 tidaklah mudah,
karena besarnya perbedaan struktural antara Kementrian Kehutanan dan
Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Dengan
dilakukannya perubahan UU ini diharapkan ada peningkatan dalam pengelolaan
wilayah pesisir, sehingga pemerintah dan masyrakat harus bekerja sama demi
tercapainya tujuan tersebut.
Referensi
:
Ø Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
Ø Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2014
Ø Analisis pribadi penulis berkenaan
alasan perubahan Undang-Undang antara UU No. 27 tahun 2007 ke UU No.1 tahun
2014.