Minggu, 31 Mei 2015

Memetakan Perubahan Wajah Mangrove indonesia



Indonesia sebagai Negara kepulauan tentu sudah tak asing dengan yang namanya garis pantai. Sebagai negara kepulauan yang terdiri atas 17.504 buah pulau besar dan kecil , Indonesia kini memiliki panjang garis pantai sekitar 95.181 KM (Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2009). Dengan pesisir pantai yang membentang itulah resiko abrasi laut dengan berbagai tingkat juga semakin tinggi, dari beberapa sumber data tercatat 20 % dari garis pantai yang ada di Indonesia rusak akibat abrasi gelombang laut yang tinggi. Kondisi garis pantai di setiap wilayah pun beraneka ragam pada kenyataannya. Di pantai selatan jawa misalnya, ombaknya tergolong short current wave dan merupakan gelombang yang cenderung merusak pantai serta memiliki tingkat abrasi tinggi. Hal ini berbeda dengan kondisi pantai utara jawa yang ombaknya lebih rendah tetapi mengalami sedimentasi laut akibat banyaknya industri yang membuang limbah ke laut. Sehingga dengan berbagai karakteristik wilayah tersebut, dibutuhkan penanganan dan pemeliharaan pesisir pantai yang berbeda-beda. Tergantung seberapa besar tingkat abrasi yang terjadi, kondisi ombak di sekitar, dan faktor-faktor lingkungan lainnya seperti industri, kegiatan masyarakat, dan jenis  tanah dan batuan yang ada di wilayah tersebut.



Persebaran hutan mangrove di Dunia (atas) dan di Indonesia (bawah)

Salah satu contoh kasusnya adalah abrasi air laut yang telah menyebabkan sekitar 5-10 desa di Indramayu dalam 20 tahun terakhir hilang. Belum lagi data tahun 2007 yang mengungkapkan sekitar 42,6 km daratan pantai dari 114 km garis pantai di Indramayu juga telah tergerus abrasi. Itu baru disuatu daerah. Bagaimana dengan daerah lainnya? Untuk mencegah dan menanggulangi abrasi di pesisir pantai sendiri diperlukan benteng perlindungan yang mampu menyelamatkan lingkungan, dalam hal ini Mangrove menjadi jawabannya. Tanpa hutan mangrove yang berfungsi sebagai penahan abrasi, kita akan melihat garis pantai Indonesia yang terpanjang kedua di dunia (setelah Kanada) sepanjang 81.000 km akan terkikis habis. Indonesia adalah negara yang mempunyai ekosistem hutan mangrove terluas di dunia dengan luas sekitar 3,8 juta hektar, diikuti Brazil, Australia, Nigeria, dan Mexico. Indonesia memiliki sekitar 40% dari total hutan mangrove di dunia, dan dari jumlah itu sekitar 75% berada di Papua.

Kasus pengrusakan hutan mangrove yang lain di beberapa tempat di Indonesia sangat banyak terjadi. Di Riau, sekitar 6 pulau telah tenggelam akibat abrasi air laut. Keenam pulau itu adalah Nipah, Barkih, Raya, Jenir, Desa Muntai dan Sinabo. Tenggelamnya pulau-pulau tersebut adalah akibat dari eksploitasi hutan mangrove yang membabi-buta di Riau. Di Jawa Tengah, kerusakan hutan mangrove diperkirakan sekitar 90& dari total hutan mangrove yang ada di pantuta, Jateng. Kerusakan itu terjadi di 7 kabupaten, yaitu Rembang, Demak, Jepara, Kota Semarang, Kendal, Kota Tegal, dan Brebes. Abrasi pantai akibat pengrusakan hutan mangrove di tujuh daerah tersebut adalah sekitar 5.400 hektar. Di Kalimantan Timur, kurang lebih 370.000 hektar hutan bakau di provinsi itu sudah hancur dan dikonversi menjadi tambak udang. Sementara luas hutan bakau yang ada diperkirakan tinggal 512.000 hektar. Selain itu, di Bekasi, dari sekitar 15.000 hektar hutan mangrove yang ada, kini hanya tinggal sekitar 600 hektar saja yang tersisa. Pengrusakan itu disebabkan oleh masyarakat sekitar untuk pemukiman. Selain itu masih banyak lagi contoh lain pengrusakan hutan mangrove di Indonesia.



Contoh citra udara dampak abrasi laut di pantai Sayung dari 31/5/2003 sampai dengan 9/9/2013
sumber
: Google earth

Berikut ini disajikan peta Peta yang menjadi petunjuk bahwa Indonesia merupakan pemilik ekosistem hutan mangrove yang paling besar di dunia.


Anda lihat, betapa kayanya Indonesia dengan hutan mangrove-nya. Kekayaan itulah yang seharusnya dijaga dan dipelihara. Sekali lagi, untuk lingkungan dunia yang lebih baik. Sebagaimana diketahui, Mangrove yang ditanam di pinggiran pantai, akar-akarnya mampu menahan ombak sehingga menghambat terjadinya pengikisan pantai. Sayangnya tanaman bakau hanya dapat tumbuh pada tanah gambut yang berlumpur dan belum banyak yang mengetahui hal tersebut. Hal ini menjadi pertimbangan yang sangat sulit karena sebagian besar pantai di Indonesia merupakan perairan yang dasarnya tertutupi oleh pasir, sedangkan tanaman bakau tidak dapat tumbuh pada daerah berpasir. Selain itu, yang turut memprihatinkan adalah kondisi benteng alami di pesisir pantai ini kurang diperhatikan di masyarakat, hal ini terbukti dengan berbagai kasus kerusakan dan hilangnya tutupan Mangrove di sepanjang pesisir pantai. Mengambil contoh kasus di Semarang, akibat hilangnya hutan bakau yang menjadi  pelindung daratan, banyak ikan-ikan yang dibudidayakan di tambak-tambak warga akhirnya hilang terbawa air laut yang naik ke daratan.

Fakta hilangnya hutan bakau di beberapa wilayah pantai utara jawa juga dapat diamati menggunakan citra satelit. di Kabupaten Subang misalnya, dari citra Landsat tahun 2010 dapat dilihat banyak hutan bakau yang menghilang dibandingkan pada tahun 2002. Pembukaan lahan hutan bakau tersebut digunakan sebagai pembangunan permukiman, tambak dan sawah, akibatnya terjadi kemunduran pantai sebesar 392,32 Ha/th pada tahun 2003. Hal serupa juga terjadi di pantai Cisadane, Banten. Pada tahun 1997, terdapat 3 muara sungai Cisadane, sedangkan pada 2005 hanya tersisa 1 muara sungai Cisadane yang diakibatkan oleh perubahan garis pantai, hal ini sebagai dampak dari hilangnya hutan bakau yang ada di muara sungai Cisadane. Tidak berbeda jauh dari Jawa Barat , Di Jawa Tengah pun mengalami hal yang sama. Di Karimun Jawa yang notabene-nya adalah taman nasional pun juga mengalami nasib yang sama,  sekitar 3,73 % hutan bakau rusak akibat pembukaan lahan tambak dan pemanfaatan kayu mangrove oleh masyarakat. Oleh karena itu diperlukan inventarisasi mangrove yang membahas lebih dalam tentang distribusi penanaman Mangrove, luas wilayah tanam, dan tingkat kerapatan penanaman Mangrove disana. Inventarisasi ini berguna untuk pengelolaan dan penetapan kebijakan pada ekosistem mangrove dan daerah pesisir. Dalam melakukan pemantauan dan inventarisasi Mangrove tidaklah mudah. Kesulitan pemetaan di lapangan merupakan kendala kelangkaan data Mangrove itu sendiri. Sebagai alternatifnya maka dikembangkan teknik penginderaan jauh untuk mengamati persebaran dan penanaman Mangrove. Teknik ini memiliki jangkauan yang luas dan dapat memetakan daerah-daerah yang sulit dijangkau dengan perjalanan darat. Salah satu data penginderaan jauh yang dapat dimanfaatkan untuk memantau hutan Mangrove adalah citra Satelit QuickBird. Citra ini memiliki lebar sapuan 16,5 x 16,5 km2 dengan resolusi spasial 2,44 m untuk sensor multispectral. Dari hasil pengamatan hutan mangrove dengan citra satelit diperoleh data-data meliputi distribusi Mangrove, luasan daerah tertanam Mangrove, dan kerapatan penanaman Mangrove disana. 

Dengan berbagai kajian tersebut. Maka diharapkan dapat diperoleh suatu informasi geografis tentang potensi penanaman Mangrove di daerah-daerah yang memiliki garis pantai. Dalam hal ini yang menjadi cakupan wilayah yang dibahas adalah Pantai Utara Jawa. Sebagai daerah dengan garis pantai yang luas dan fenomena abrasi yang cukup tinggi intensitasnya, maka dibutuhkan penanganan khusus dalam penanggulangan dan pencegahan abrasi di daerah ini. Selanjutnya Informasi geografis tersebut dapat digunakan oleh pemerintah daerah sebagai pedoman dalam pengambilan keputusan penanaman Mangrove di daerah, bekerja sama dengan Dinas Kehutanan, Dinas Kelautan, dan Bakosurtanal. Selain itu juga dapat dijadikan pertimbangan penataan kota bersama dengan Dinas Tata Kota untuk mengatur pembangunan di kota-kota yang berada di sepanjang garis pantai/pesisir.



Minggu, 24 Mei 2015

Point Pemerhatian dalam PPK (Pengelolaan Pulau Kecil)

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki berates ribu kepulauan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari Mianggas sampai Pulau Rote. Hal ini tentunya akan menimbulkan banyak peluang sekaligus tantangan dalam berkembangnya Negara Indonesia. Adapun banyaknya permasalahan pulau-pulau kecil yang ada, mendorong untuk segera melakukan pembenahan, terutama dalam konteks kebijakan, sehingga diperlukan upaya pembangunan ekonomi yang berbasis pulau kecil. Keberadaan  Pulau kecil yang ada harus dipacu pertumbuhannya agar dapat bersaing dan menjadi pilar kokoh bagi kedaulatan bangsa.  Oleh karena itu, sangat perlu dilakukan pemastian kebijakan ekonomi kelautan berbasis pulau kecil.

Sayangnya, kebijakan yang dibuat dewasa ini cenderung tidak membumi dan tidak berpihak pada pengembangan dan pembangunan pulau-pulau kecil.  Implementasi kebijakan penanganan pulau-pulau kecil saat ini masih bersifat miss-management, dimana salah satunya disebabkan oleh karena SDM yang mengelola bukan merupakan SDM dengan latar belakang pengelolaan pesisir dan laut. Tidak jarang, SDM yang menangani pengelolaan pulau-pulau kecil dilakukan oleh SDM yang merupakan lulusan sarjana keagamaan, sehingga semangat the right man on the right place tidak terwujud dengan baik.

Kebijakan pemerintah tentang pengelolaan pulau-pulau kecil tidak bersifat spesifik dan menjadi arus utama, sehingga pengembangan ekonomi yang diupayakan cenderung bersifat sporadis dan masih berorientasi ke darat.  Oleh karena itu, diperlukan transformasi fungsi kewenangan yang lebih jelas dan terarah agar penanganan pulau-pulau kecil dapat dikembangkan dengan berbasis kepada kemampuan ekonomi kelautan lokal.  Dalam hal ini, perlu dibuat sentra-sentra pertumbuhan ekonomi kelautan pulau-pulau kecil dengan berbasis kepada tujuh spektrum ekonomi kelautan (Kusumastanto, 2003), yaitu:
(i)                 ekonomi perikanan,
(ii)               ekonomi pariwisata,
(iii)             ekonomi energi dan sumberdaya mineral,
(iv)             ekonomi perhubungan laut,
(v)               ekonomi industri maritim,
(vi)             ekonomi bangunan kelautan,
(vii)           ekonomi jasa kelautan.

Dan, model pendekatan pembangunan pulau berbasis minapolitan dan keberpihakan pulau-pulau kecil seyogyanya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pengembangan ekonomi kelautan pulau-pulau kecil di Indonesia. Impelementasi pendekatan pembangunan ini seyogianya didesain berdasarkan prinsip-prinsip:
(i)                 prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable developmnet);
(ii)               prinsip keterpaduan pembangunan (integrated development);
(iii)             prinsip partisipasi (participation);
(iv)             pemanfaatan sumberdaya secara rasional (rational resource use);
(v)               prinsip pendekatan kehati-hatian (precautionary approach);
(vi)             prinsip kesejahteraan (welfare); dan
(vii)           prinsip kerjasama (cooperation)

  • Konsep pembangunan berkelanjutan mengandung aspek :
(1)   keberlanjutan ekologi, yaitu diantaranya memelihara keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungan, sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistem sebagai perhatian utama;
(2)   keberlanjutan sosio-ekonomi, yaitu dengan memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan pelaku usaha di pulau-pulau kecil pada tingkat individu serta mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan perhatian keberlanjutan;
(3)   keberlanjutan komunitas, yaitu menjadikan komunitas sebagai basis perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan; dan
(4)   keberlanjutan kelembagaan, yaitu menyangkut pemeliharaan aspek finansial dan administrasi yang sehat sebagai prasyarat ketiga pembangunan pulau-pulau kecil. 


  • Prinsip pembangunan berkelanjutan diterapkan diantaranya sebagai upaya agar:
(1)    pemanfaatan sumberdaya tidak melebihi kemampuan regenerasi sumberdaya hayati atau laju inovasi substitusi sumberdaya nonhayati;
(2)    pemanfaatan sumberdaya saat ini tidak boleh mengorbankan (kualitas dan kuantitas) kebutuhan generasi yang akan datang atas sumberdaya alam dan lingkungan; dan
(3)    pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan yang belum diketahui dampaknya harus dilakukan secara hati-hati dan didukung oleh penelitian ilmiah yang memadai.

  • Prinsip keterpaduan pembangunan dikembangkan melalui pengintegrasian kebijakan dengan perencanaan berbagai sektor pemerintahan secara horizontal dan secara vertikal antara pemerintah dan pemerintah daerah, serta mengintegrasikan ekosistem darat dengan ekosistem laut berdasarkan masukan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membantu proses pengambilan putusan dalam pengelolaan ekosistem.
  • Prinsip partisipasi diantaranya dimaksudkan sebagai upaya agar :
o   seluruh stakeholder mempunyai peran dalam perencanaan, pelaksanaan, sampai tahap pengawasan dan pengendalian;
o   memiliki informasi yang terbuka untuk mengetahui kebijaksanaan pemerintah dan mempunyai akses yang cukup untuk memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan;
o   menjamin adanya representasi stakeholder dalam keputusan tersebut; dan
o   memanfaatkan sumberdaya tersebut secara adil.

  • Prinsip pemanfaatan sumberdaya secara rasional (rational resource use) secara langsung menekankan pada negara untuk mengadopsi tindakan pengurangan dan penghapusan kegiatan produksi dan konsumsi yang tidak berkelanjutan yang disebabkan oleh kegiatan manusia. Hak negara untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya disertai dengan tanggung jawab untuk melindungi dan memelihara lingkungan dan keterpaduan ekosistem.
  • Prinsip pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) didasarkan pada Pasal 15 Deklarasi Rio, negara mengadopsi tindakan pencegahan dan antisipasi ketidakpastian ilmiah dari kerusakan lingkungan. Permasalahan ketidakpastian dan kerusakan lingkungan akan diperparah dengan perubahan iklim global. Oleh karena itu, diperlukan tindakan untuk mencegah atau tindakan yang terukur yang dapat merugikan lingkungan laut.
  • Prinsip kesejahteraan (welfare) dalam hal ini ditekankan agar pembangunan kelautan dapat diarahkan pada tujuan utama dari pembangunan itu sendiri, yakni kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, melalui pemanfaatan dan pengelolaan pulua-pulau kecil oleh generasi sekarang dan generasi yang akan datang secara lestari.
  • Prinsip kerjasama (cooperation) dalam hal ini dilatar belakangi bahwa pengelolaan dan pembangunan pulau-pulau kecil merupakan multisektor kewenangan, sehingga perlu kerjasama dalam pengelolaan antar lembaga pemerintah, swasta dan masyarakat.  Indonesia secara aktif melakukan kerjasama dengan berbagai lembaga baik di tingkat regional maupun internasional untuk kepentingan pembangunan pulau-pulau kecil di Indonesia.