Indonesia sebagai Negara kepulauan tentu sudah tak
asing dengan yang namanya
garis pantai. Sebagai negara kepulauan yang terdiri atas 17.504
buah pulau besar
dan kecil , Indonesia kini memiliki panjang garis pantai sekitar 95.181 KM (Kementrian
Kelautan dan Perikanan, 2009). Dengan pesisir pantai yang membentang itulah
resiko abrasi laut dengan berbagai tingkat juga semakin tinggi, dari beberapa
sumber data tercatat 20 % dari garis pantai yang ada di Indonesia rusak akibat
abrasi gelombang laut yang tinggi. Kondisi garis pantai di setiap wilayah
pun beraneka ragam pada kenyataannya. Di pantai selatan jawa misalnya, ombaknya tergolong short
current wave dan merupakan gelombang yang cenderung merusak pantai serta memiliki tingkat abrasi tinggi. Hal ini
berbeda dengan kondisi pantai utara jawa yang ombaknya
lebih rendah tetapi mengalami sedimentasi laut akibat banyaknya industri yang
membuang limbah ke laut. Sehingga dengan berbagai karakteristik
wilayah tersebut, dibutuhkan penanganan dan pemeliharaan pesisir pantai yang
berbeda-beda. Tergantung seberapa besar tingkat abrasi yang terjadi, kondisi
ombak di sekitar, dan faktor-faktor lingkungan lainnya seperti industri,
kegiatan masyarakat, dan jenis tanah dan
batuan yang ada di wilayah tersebut.
Persebaran hutan
mangrove di Dunia (atas) dan di Indonesia (bawah)
Sumber:http://thewavemaker.files.wordpress.com/2011/01/peta-persebaran-mangrove-indonesia.png?w=300&h=150
http://3.bp.blogspot.com/M5yhQmtyaSk/T6EV9X90cOI/AAAAAAAAAlU/hdPO9sT5YV8/s400/lokasi+sebaran+mangrove+di+dunia.jpg
Salah satu contoh kasusnya adalah abrasi air laut yang telah
menyebabkan sekitar 5-10 desa di Indramayu dalam 20 tahun terakhir hilang.
Belum lagi data tahun 2007 yang mengungkapkan sekitar 42,6 km daratan pantai dari
114 km garis pantai di Indramayu juga telah tergerus abrasi. Itu baru disuatu
daerah. Bagaimana dengan daerah lainnya? Untuk mencegah dan menanggulangi
abrasi di pesisir pantai sendiri diperlukan benteng perlindungan yang mampu
menyelamatkan lingkungan, dalam hal ini Mangrove menjadi
jawabannya. Tanpa hutan mangrove yang berfungsi sebagai penahan abrasi, kita
akan melihat garis pantai Indonesia yang terpanjang kedua di dunia (setelah
Kanada) sepanjang 81.000 km akan terkikis habis. Indonesia adalah negara yang
mempunyai ekosistem hutan mangrove terluas di dunia dengan luas sekitar 3,8
juta hektar, diikuti Brazil, Australia, Nigeria, dan Mexico. Indonesia memiliki sekitar 40% dari
total hutan mangrove di dunia, dan dari jumlah itu sekitar 75% berada di Papua.
Kasus pengrusakan hutan mangrove yang lain di beberapa tempat
di Indonesia sangat banyak terjadi. Di Riau, sekitar 6 pulau telah tenggelam
akibat abrasi air laut. Keenam pulau itu adalah Nipah, Barkih, Raya, Jenir,
Desa Muntai dan Sinabo. Tenggelamnya pulau-pulau tersebut adalah akibat dari
eksploitasi hutan mangrove yang membabi-buta di Riau. Di Jawa Tengah, kerusakan
hutan mangrove diperkirakan sekitar 90& dari total hutan mangrove yang ada
di pantuta, Jateng. Kerusakan itu terjadi di 7 kabupaten, yaitu Rembang, Demak,
Jepara, Kota Semarang, Kendal, Kota Tegal, dan Brebes. Abrasi pantai akibat
pengrusakan hutan mangrove di tujuh daerah tersebut adalah sekitar 5.400
hektar. Di Kalimantan Timur, kurang lebih 370.000 hektar hutan bakau di
provinsi itu sudah hancur dan dikonversi menjadi tambak udang. Sementara luas
hutan bakau yang ada diperkirakan tinggal 512.000 hektar. Selain itu, di
Bekasi, dari sekitar 15.000 hektar hutan mangrove yang ada, kini hanya tinggal
sekitar 600 hektar saja yang tersisa. Pengrusakan itu disebabkan oleh
masyarakat sekitar untuk pemukiman. Selain itu masih banyak lagi contoh lain
pengrusakan hutan mangrove di Indonesia.
Contoh citra
udara dampak abrasi laut di pantai Sayung dari 31/5/2003 sampai dengan 9/9/2013
sumber: Google earth
sumber: Google earth
Berikut ini disajikan peta Peta yang menjadi petunjuk
bahwa Indonesia merupakan pemilik ekosistem hutan mangrove yang paling besar di
dunia.
distribusi hutan
mangrove di dunia
sumber: http://www.grida.no/graphicslib/detail/distribution-of-coral-mangrove-and-seagrass-diversity_30dc
sumber: http://www.grida.no/graphicslib/detail/distribution-of-coral-mangrove-and-seagrass-diversity_30dc
Anda lihat, betapa kayanya
Indonesia dengan hutan mangrove-nya. Kekayaan itulah yang seharusnya dijaga dan
dipelihara. Sekali lagi, untuk lingkungan dunia yang lebih baik. Sebagaimana
diketahui, Mangrove yang ditanam di pinggiran pantai, akar-akarnya mampu
menahan ombak sehingga menghambat terjadinya pengikisan pantai. Sayangnya tanaman bakau hanya dapat tumbuh pada
tanah gambut yang berlumpur dan belum banyak yang mengetahui hal
tersebut. Hal ini
menjadi pertimbangan yang sangat sulit karena sebagian besar pantai di Indonesia
merupakan perairan yang dasarnya tertutupi oleh pasir, sedangkan tanaman bakau tidak dapat tumbuh
pada daerah berpasir. Selain itu, yang turut memprihatinkan adalah kondisi benteng alami di pesisir
pantai ini kurang diperhatikan di masyarakat, hal ini terbukti dengan berbagai
kasus kerusakan dan hilangnya tutupan Mangrove di sepanjang pesisir pantai.
Mengambil contoh kasus di Semarang, akibat hilangnya hutan bakau yang
menjadi pelindung daratan, banyak
ikan-ikan yang dibudidayakan di tambak-tambak warga akhirnya hilang terbawa air laut yang naik ke daratan.
Fakta hilangnya hutan bakau di beberapa
wilayah pantai utara jawa juga dapat diamati menggunakan citra satelit. di
Kabupaten Subang misalnya, dari citra Landsat tahun 2010 dapat dilihat banyak
hutan bakau yang menghilang dibandingkan pada tahun 2002. Pembukaan lahan hutan
bakau tersebut digunakan sebagai pembangunan permukiman, tambak dan sawah,
akibatnya terjadi kemunduran pantai sebesar 392,32 Ha/th pada tahun 2003. Hal
serupa juga terjadi di pantai Cisadane, Banten. Pada tahun 1997, terdapat 3
muara sungai Cisadane, sedangkan pada 2005 hanya tersisa 1 muara sungai Cisadane yang diakibatkan oleh perubahan garis pantai, hal
ini sebagai dampak dari
hilangnya hutan bakau yang ada di muara sungai Cisadane. Tidak berbeda jauh
dari Jawa Barat , Di Jawa Tengah pun mengalami hal yang sama. Di Karimun Jawa
yang notabene-nya
adalah taman nasional pun juga mengalami nasib yang sama, sekitar 3,73 % hutan bakau rusak akibat
pembukaan lahan tambak dan pemanfaatan kayu mangrove oleh masyarakat. Oleh
karena itu diperlukan inventarisasi mangrove yang membahas lebih dalam tentang
distribusi penanaman Mangrove, luas wilayah tanam, dan tingkat kerapatan
penanaman Mangrove disana. Inventarisasi ini berguna untuk pengelolaan dan
penetapan kebijakan pada ekosistem mangrove dan daerah pesisir. Dalam melakukan
pemantauan dan inventarisasi Mangrove tidaklah mudah. Kesulitan pemetaan di lapangan
merupakan kendala kelangkaan data Mangrove itu sendiri. Sebagai alternatifnya maka dikembangkan teknik penginderaan jauh untuk
mengamati persebaran dan penanaman Mangrove. Teknik ini memiliki jangkauan yang luas dan dapat memetakan
daerah-daerah yang sulit dijangkau dengan perjalanan darat. Salah satu data
penginderaan jauh yang dapat dimanfaatkan untuk memantau hutan Mangrove adalah citra Satelit
QuickBird. Citra ini memiliki lebar sapuan 16,5 x 16,5 km2 dengan resolusi
spasial 2,44 m untuk sensor multispectral. Dari hasil pengamatan hutan
mangrove dengan citra satelit diperoleh data-data meliputi distribusi Mangrove,
luasan daerah tertanam Mangrove, dan kerapatan penanaman Mangrove disana.
Dengan berbagai kajian tersebut.
Maka diharapkan dapat
diperoleh suatu informasi geografis tentang potensi penanaman Mangrove di
daerah-daerah yang memiliki garis pantai. Dalam hal ini yang menjadi cakupan
wilayah yang dibahas adalah Pantai Utara Jawa. Sebagai daerah dengan garis
pantai yang luas dan fenomena abrasi yang cukup tinggi intensitasnya, maka dibutuhkan
penanganan khusus dalam penanggulangan dan pencegahan abrasi di daerah ini. Selanjutnya Informasi geografis
tersebut dapat digunakan oleh pemerintah daerah sebagai pedoman dalam
pengambilan keputusan penanaman Mangrove di daerah, bekerja sama dengan Dinas
Kehutanan, Dinas Kelautan, dan Bakosurtanal. Selain itu juga dapat dijadikan
pertimbangan penataan kota bersama dengan Dinas Tata Kota untuk mengatur
pembangunan di kota-kota yang berada di sepanjang garis pantai/pesisir.