Istilah
“poros maritim” kini semakin populer dan menarik perhatian banyak pihak, tidak
terkecuali media massa yang juga kerap memunculkan istilah tersebut dalam
pemberitaannya dalam waktu-waktu belakangan ini. Mengemukanya istilah tersebut
tidak terlepas dari gagasan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ingin menjadikan
Indonesia sebagai poros maritim dunia. Menurut Presiden RI ke-7 tersebut,
sebagaimana dikemukakan dalam pidatonya seusai pelantikan di hadapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), 20 Oktober 2014, “kita telah terlalu lama memunggungi
laut, memunggungi samudera, dan memunggungi selat dan teluk, dan kini
saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga ‘Jalesveva Jayamahe’, di
laut justru kita jaya, sebagaimana semboyan kita di masa lalu,
bisa kembali”.
Mengacu
kepada keterangan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Andrinof
Chaniago, dikatakannya bahwa Jokowi ingin menjadikan wilayah perairan Indonesia
sebagai wilayah perairan yang paling aman di dunia bagi semua aktivitas laut,
dan untuk itu pemerintah akan menjamin keamanan dan keselamatan transportasi
laut yang dilakukan oleh masyarakat maupun pelaku usaha. Untuk itu pula, semua
jajaran kementerian Kabinet Kerja Jokowi pun diminta mendukung upaya pemerintah
menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Dalam konferensi pers pertama
di kantor kementerian luar negeri, 29 Oktober 2014, Menteri Luar Negeri Retno LP
Marsudi menyatakan siap untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritime dunia
dan akan mempromosikannya di for a internasional, seperti di KTT APEC, KTT ASEAN,
dan G-20 pada bulan November 2014 yang dihadiri oleh Indonesia. Kajian singkat ini
mencoba membahas apa saja yang perlu diperhatikan oleh Indonesia dalam upaya
menuju poros maritim dunia.
Menjadikan Indonesia sebagai Negara
Maritim
Terlebih
dahulu perlu dipahami pengertian negara maritim, mengingat adanya pandangan
bahwa meskipun Indonesia memiliki sejumlah prasyarat untuk menjadi kekuatan
maritim, sebagaimana yang ditetapkan oleh para ahli strategi maritime seperti
Alfred Thayer Mahan dan Geoffrey Till, akan tetapi hingga saat ini Indonesia
belum menjadi negara maritim. Status Indonesia barulah sebatas negara kepulauan
setelah berlakunya Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982 pada 16 November 1994.
Pakar
Hukum Laut Hasjim Djalal mengemukakan bahwa negara maritime tidak sama dengan
negara kepulauan. Negara maritim adalah negara yang mampu memanfaatkan laut,
walaupun negara tersebut mungkin tidak punya banyak laut, tetapi mempunyai
kemampuan teknologi, ilmu pengetahuan, peralatan, dan lain-lain untuk mengelola
dan memanfaatkan laut tersebut, baik ruangnya maupun kekayaan alamnya dan
letaknya yang strategis. Oleh karena itu, banyak negara kepulauan atau negara
pulau yang tidak atau belum menjadi negara maritime karena belum mampu
memanfaatkan laut yang sudah berada di dalam kekuasaannya.
Sebaliknya,
banyak negara yang tidak mempunyai laut atau lautnya sangat sedikit tetapi mampu
memanfaatkan laut tersebut untuk kepentingannya, misalnya Singapura.Negeri Belanda
yang lautnya sangat kecil mampu menjelajahi Samudera Hindia dan menjajah Indonesia
hingga ratusan tahun. Indonesia, menurut Hasjim Djalal, adalah negara kepulauan
yang kini sedang menuju kembali atau bercita-cita menjadi Negara maritim karena
di masa lalu pernah menjadi negara maritim seperti di zaman Sriwijaya dan
Majapahit. Di masa itu, bangsa Indonesia malah menjelajah jauh sampai ke Afrika
Timur (Madagaskar) dan ke Pasifik Selatan.
Ini
artinya, jika Indonesia ingin menjadi poros maritim dunia, terlebih dahulu Indonesia
harus berupaya menjadi negara maritim. Untuk menjadi Negara maritim, menurut
Hasjim Djalal, Indonesia harus mampu mengelola dan memanfaatkan kekayaan dan
ruang lautnya, antara lain: mengenal berbagai jenis laut Indonesia dengan berbagai
ketentuannya; mengenal dan menghormati hak-hak internasional atas perairan
Indonesia; mampu menghapus praktik ilegal dan mencegah segala macam bentuk
pelanggaran hukum di wilayah perairan Indonesia dan juga di daerah kewenangannya;
mampu menetapkan dan mengelola perbatasan maritim dengan Negara tetangga dan
menjaga keamanannya; mampu menjaga keselamatan pelayaran yang melalui perairan
Indonesia; mampu memanfaatkan kekayaan alam dan ruang di luar perairan Indonesia
seperti di laut bebas dan di dasar laut internasional. Singkatnya, negara maritime
Indonesia selain harus mampu memanfaatkan semua unsur kelautan di sekelilingnya
untuk kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa, juga harus mampu menghadirkan
kekuatan keamanan laut yang memadai, semacam sea and coast guard,
guna menjaga keamanan perairan Indonesia dari berbagai tindak pelanggaran
hukum.
Merespons Permasalahan Keamanan
Maritim Kawasan
Jika
dielaborasi lebih jauh, untuk menjadi negara dan poros maritim, Indonesia juga
harus merespons dan turut mencari solusi atas berbagai permasalahan keamanan maritime
kawasan. Posisi Indonesia sebagai Negara kepulauan yang berada di persimpangan
dua samudera (Hindia dan Pasifik), dimana sebagian dari wilayah perairannya
yang luas menjadi jalur perlintasan maritim dunia, membuat Indonesia tidak bisa
mengabaikan permasalahan keamanan kawasan yang terkait dengan maritim. Ini
artinya, selain Indonesia harus menjamin keamanan maritime di perairan
yurisdiksinya, Indonesia juga harus peduli dan menaruh perhatian terhadap berbagai
permasalahan keamanan maritime kawasan (khususnya yang mengemuka di kawasan
Asia Tenggara), karena jika permasalahan keamanan maritim tersebut tidak
tertangani dengan baik maka akan berimplikasi juga terhadap Indonesia.
Sengketa
perbatasan maritim yang hingga kini masih terjadi di antara sejumlah negara
kawasan dan belum tuntas diselesaikan secara damai adalah salah satu
permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian serius. Sengketa teritorial di
Laut China Selatan yang melibatkan sejumlah negara anggota ASEAN (Malaysia,
Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalam) dengan Tiongkok, yang dalam tahun-tahun
belakangan ini kembali memanas, adalah salah satunya. Meskipun bukan menjadi
bagian dari negara yang bersengketa, Indonesia perlu menjadi bagian dari pencarian
solusi damai atas masalah tersebut.
Permasalahan
keamanan maritime lainnya yang juga perlu mendapat perhatian adalah
ancaman-ancaman nonkonvensional, terutama yang datang dari berbagai tindak
kejahatan transnasional, yang secara langsung juga mengancam wibawa dan wilayah
negara, diantaranya adalah perompakan dan pembajakan, serta terorisme maritim.
Perairan Asia Tenggara, khususnya Selat Malaka, merupakan jalur pelayaran yang
cukup penting dan strategis yang menghubungkan wilayah Asia dengan Eropa dan Timur
Tengah. Semakin banyaknya pelayaran internasional, terutama kapal-kapal dagang
dan tanker minyak manca negara yang melintas di wilayah perairan Asia Tenggara,
dapat mengundang perhatian kelompokkelompok atau pihak-pihak tertentu yang berniat
melakukan tindak kejahatan untuk melakukan perompakan atau pembajakan.
Kemungkinan
bagi terjadinya terorisme maritim juga perlu menjadi perhatian meskipun belum
menjadi ancaman nyata saat ini. Namun sulit disangkal bahwa perairan Asia
Tenggara sangat rawan. Semakin banyaknya pelayaran kapal-kapal dagang di wilayah
ini dapat mengundang organisasi teroris melakukan perompakan, baik untuk penggalangan
dana maupun sekedar menebarkan iklim ketidakpastian. Meskipun kebanyakan
perompakan dan pembajakan di perairan kawasan ini lebih berorientasi pada aspek
ekonomi, namun bisa saja orientasi tersebut bergeser ke arah ideologi dan terorisme.
Potensi bagi terjadinya terorisme cukup besar, mengingat di kawasan ini juga terdapat
kelompok-kelompok militan yang suatu saat bisa saja menebar ancaman di lautan.
Perairan
Asia Tenggara yang kaya akan sumber daya perikanan, terutama di perairan Indonesia
juga menjadi daya tarik tersendiri bagi pihak-pihak tertentu, termasuk asing, untuk
melakukan penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing).
Perairan Indonesia yang rawan dari kegiatan illegal fishing tersebut
menyebar mulai dari perairan utara Aceh, Laut Natuna, Laut Sulawesi, Samudera
Hindia bagian selatan, Laut Aru (Maluku), hingga Laut Arafura di sekitar Papua.
Berbagai cara ilegal dilakukan oleh nelayan lokal maupun asing untuk
mengeksplorasi sumber daya perikanan Indonesia ditengah keterbatasan pengawasan
aparat dan armada kapal patrol Indonesia.
Aktivitas
penyelundupan, baik barang maupun orang, yang dilakukan melalui jalur laut sudah
tentu juga menjadi persoalan serius bagi keamanan maritim. Hal ini tidak mengherankan
mengingat transportasi laut masih menjadi andalan utama dalam lalu-lintas
perdagangan dunia, di mana sepertiganya melalui Selat Malaka yang juga menjadi bagian
dari perairan Indonesia. Ini artinya, pada saat yang bersamaan aktivitas
penyelundupan berpotensi untuk terjadi, seperti penyelundupan senjata api ilegal,
narkoba, bahan bakar minyak, hingga manusia. Permasalahan lingkungan juga menjadi
isu penting yang perlu diperhatikan mengingat kondisi lingkungan hidup, termasuk
di laut, dari hari ke hari semakin menunjukkan penurunan kualitas yang cukup signifikan.
Kepentingan
negara-negara luar kawasan atas wilayah perairan Asia Tenggara juga perlu
menjadi perhatian. Kepentingan utama bagi negara-negara luar kawasan, terutama
Tiongkok, Jepang dan Amerika Serikat, adalah kepastian akses dan/atau ketersediaan
sumber daya. Bagi mereka, alur laut di perairan Asia Tenggara, termasuk Alur Laut
Kepulauan Indonesia (ALKI), hamper tidak tergantikan. Perubahan rute ke Selat Lombok
atau Selat Sunda saja, misalnya, akan membawa beban finansial tambahan bagi
mereka. Ini artinya, kepentingan Negara-negara luar kawasan terhadap perairan Asia
Tenggara juga harus diantisipasi dan direspons oleh Indonesia.
Diplomasi Ekonomi Maritim
Di
bidang diplomasi, Indonesia juga perlu mengarahkan sasaran diplomasinya untuk
mendukung pencapaian sebagai negara maritim dan poros maritim. Terkait dengan
hal ini, diplomasi ekonomi maritime menjadi sebuah keharusan bagi Indonesia. Saat
ini, tidak ada satu negara pun yang tidak mengutamakan diplomasi ekonomi. Semua
hubungan antarnegara pada akhirnya berujung pada hitung-hitungan ekonomi. Diplomasi
ekonomi diharapkan dapat menopang upaya pemerintah menciptakan perekonomian
nasional yang lebih mandiri dan kompetitif. Untuk itu, sasaran diplomasi harus
diarahkan untuk mendorong penguatan kerja sama internasional yang dapat
mendayagunakan segenap potensi Indonesia sebagai negara kepulauan secara dinamis.
Dalam konteks ini, Indonesia perlu menempatkan keberadaan lautnya sebagai suatu
keunggulan komparatif dan kompetitif dalam melakukan hubungan dengan bangsa-bangsa
di dunia.
Potensi
nilai total ekonomi sector kelautan dan perikanan Indonesia yang mencapai lebih
1 triliun dollar AS (Koran Tempo, 5 Oktober 2013) tentu merupakan
suatu modal yang lebih dari cukup untuk melaksanakan diplomasi ekonomi maritim.
Diplomasi ekonomi maritim harus diterjemahkan ke dalam langkah-langkah konkret
yang mengonsolidasikan semua kerja sama internasional yang dapat mendorong pemanfaatan
semua potensi dan kekayaan laut Indonesia. Mengingat sektor perikanan merupakan
salah satu pilar ekonomi nasional, maka diplomasi ekonomi perlu ditekankan pada
upaya peningkatan nilai tambah sector perikanan Indonesia, antara lain dengan merumuskan
suatu strategi khusus untuk menembus pasar internasional bagi ekspor perikanan
Indonesia.
Selain
memprioritaskan pemanfaatan hasil kelautan, diplomasi ekonomi maritime diharapkan
dapat mendorong penguatan investasi asing yang dapat menunjang pembangunan di
bidang kelautan maupun meningkatkan daya dukung infrastruktur kelautan untuk
memanfaatkan sumber daya laut secara baik. Menarik investasi asing di bidang
transportasi, pelabuhan, komunikasi, pertambangan, dan pengembangan energy alternatif
di sektor kelautan harus menjadi salah satu sasaran utama diplomasi ekonomi
maritim.
Untuk
menuju poros maritim, terlebih dahulu Indonesia harus berupaya dan memperkuat
statusnya ke arah Negara maritim. Untuk itu, Indonesia harus mampu memanfaatkan
semua unsur kelautan di sekelilingnya untuk kepentingan nasional. Indonesia juga
harus peduli dan merespons berbagai permasalahan keamanan maritime yang
mengancam kepentingan nasional dan stabilitas kawasan, dan terkait hal ini,
utamanya dalam kerangka penegakan hukum di laut, maka pembentukan badan keamanan
laut semacam sea and coast guard menjadi suatu keharusan bagi Indonesia.
Diplomasi ekonomi maritim juga perlu menjadi perhatian dalam upaya mendukung pencapaian
Indonesia sebagai Negara maritim dan poros maritim dunia, antara lain dengan
mengonsolidasikan semua kerja sama internasional yang dapat mendorong pemanfaatan
semua potensi dan kekayaan laut Indonesia.
Referensi:
- Budi Kurniawan Supangat and Dimas Muhamad,
“Defining Jokowi’s vision of a maritime axis”, The Jakarta Post, 21 Oktober
2014.
- Chandra Motik, Hasjim Djalal, Negara kepulauan
menuju Negara maritim: 75 tahun Prof. Dr. Hasjim Djalal, MA, Jakarta:
Lembaga Laut Indonesia, 2011.
- “Potensi Kelautan dan Perikanan
Indonesia US$ 1,2 T”, Koran Tempo, 5 Oktober 2013.
- Robert Cribb, Michele Ford, editors, Indonesia
beyond the Waters Edge: Managing an Archipelagic State, Publisher:
Institute of Southeast Asian Studies, 2009.