Senin, 11 Januari 2016

Indonesia dan Timor Leste berbatas - Riwayatmu Kini

Timor Leste adalah salah satu negara tetangga Indonesia. Sebelumnya Timor Leste merupakan wilayah bagian Indonesia namun pada tanggal 20 Mei 2002 Timor Leste melepaskan diri dari kedaulatan Indonesia. Keputusan Timor Leste untuk memisahkan diri dari Indonesia dan menjadi negara merdeka, ternyata menyisahkan masalah tersendiri antara Indonesia dan Timor Leste. Masalah – masalah tersebut terutama terjadi pada daerah – daerah perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste. Perbatasan – perbatasan itu sendiri dibagi menjadi dua, yaitu perbatasan maritim dan perbatasan darat. Masalah perbatasan maritim antara Indonesia dan Timor Leste terdapat beberapa titik, diantaranya Pulau Batek, Alor, Mangudu, Liran Wetar,Kisar, Leti, serta Meatimiarang. Batas maritim maupun batas darat antara Indonesia dengan Timor Leste juga belum menemui kesepakatan.
Terdapat perbedaan interpretasi mengenai zona netral di perbatasan kedua negara. Dari sudut pandang Indonesia, pemerintah dan warganya menganggap bahwa zona netral adalah zona yang masih belum ditetapkan statusnya sebagai milik negara Indonesia atau Timor Leste, sehingga harus dikosongkan dari segala aktivitas warga. Sementara dari sudut pandang Timor Leste, zona itu sebenarnya adalah wilayah Timor Leste yang digunakan oleh PBB sebagai kawasan koordinasi keamanan antara TNI dan PBB, sebagai tempat fasilitasi pembangunan pasar bagi warga di perbatasan, dan sebagai tempat rekonsiliasi antara masyarakat eks Timtim dengan masyarakat Pasabe, Distrik Oecussi. Dengan demikian, setelah PBB meninggalkan Timor Leste, seharusnya zona netral tersebut tetap menjadi bagian wilayah kedaulatan Timor Leste.
Belum disepakati batas darat dan laut tersebut berdampak pada banyaknya insiden diperbatasan dan pelanggaran wilayah kedaulatan selain itu juga karena kondisi masyarakat perbatasan yang umumnya masih miskin, tertinggal, terbelakang serta pendidikan pun juga masih rendah. Banyaknya pelanggaran di perbatasan juga disebabkan lemahnya penegakan hukum di Indonesia maupun di timor Leste dan juga rendahnya rasa nasionalisme.

Dampak akibat belum disepakatinya perbatasan Indonesia dan Timor Leste menimbulkan banyaknya konflik maka perlu dilakukan penyelesaian baik penyelesaian jangka pendek maupun jangka panjang. Penyelesaian jangka pendek dengan memperketat aparat keamanan di wilayah perbatasan dan penyelesaian jangka panjang dengan melakukan diplomasi untuk menyelesaiakan batas antara Indonesia dan Timor Leste yang belum disepakati. Diplomasi dilakukan dengan cara negosiasi melalui hukum, sosial dan ekonomi. Negosiasi hukum diharapkan adanya undang-undang yang mengatur wilayah kedaulatan diperbatasan dan adanya hukuman bagi yang melanggar. Negosiasi ekonomi dengan melihat kondisi ekonomi masyarakat perbatasan karena rawan terjadi sengketa akibat rendahnya ekonomi diperbatasan. Masyarakat perbatasan  beranggapan bahwa pemerintah tidak memperhatikan kondisi ekonomi di wilayah perbatasan sehingga masyarakat cenderung untuk memenuhi kebutuhannya di wilayah yang melanggar batas. Negosiasi bilateral ini perlu melibatkan masyarakat lokal karena seperti pada kasus yang telah dibahas diatas rusaknya kuburan orang lokal membuat konflik semakin memanas karena menurut masyarkat lokal kuburan tersebut merupakan kuburan leluhurnya. Selain diplomasi yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan Timor Leste maka perlu adanya sosialisasi dari pemerintah kepada masyarakat mengenai kejelasan demarkasi sehingga masyarakat Indonesia sendiri juga tidak akan melanggar batas yang telah ditentukan oleh kedua Negara tersebut. Pemerintah juga perlu memperhatikan masyarakat lokal perbatasan yang jauh dari pusat pemerintahan dengan melakukan pembangunan ekonomi, social, budaya dan sarana prasarana yang tak kalah dari wilayah perkotaan karena wilayah perbatasan merupakan pintu utama terpeliharanya keutuhan kedaulatan NKRI.

Sumber :

Krustiyati,Atik 2010,‖Penanganan Pengungsi di Indonesia (Tinjauan aspek Hukum Internasional dan nasional)”, Penerbit Brilian Internasional: Surabaya.



Rabu, 30 Desember 2015

Perubahan Iklim Perairan Indonesia Beserta Dampaknya Bagi Hak Kedaulatan dan Hak Berdaulat NKRI


Sebagai negara yang berupa kepulauan dan berada di garis ekuator, Indonesia memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan perubahan iklim dunia. Seperti yang diketahui bahwa iklim di dunia ini mengalami perubahan pola perilaku yang tentunya berpengaruh pada skala regional serta tentunya akan mempengaruhi pola iklim global pada jangka panjang. Perubahan pola perilaku iklim sendiri sebenarnya juga dipengaruhi tingkah laku manusia seperti yang dilaporkan kajian Intergovernmental Panel on Climate Change ke-5 bahwa kenaikan temperatur global sejak tahun 1901 mencapai 0,89° C dan di kawasan Asia Tenggara kenaikan temperatur berkisar antara 0,4° C sampai 1° C yang diperkirakan untuk jangka menengah (2046 – 2065) menjadi antara 1,5° C sampai 2° C. Pada masa ini, kenaikan temperatur paling tinggi akan terjadi di kawasan Barat Laut yaitu Thailand, Myanmar, Laos, Kamboja, dan Vietnam. Untuk jangka panjang (2081 – 2100), kenaikan temperatur berkisar antara 2°C sampai 4°C yang akan menyebar ke daratan secara merata. Suhu tertinggi di siang hari akan mencapai 3° C sampai 4°C lebih tinngi dari temperatur rata-rata di seluruh kawasan daratan Asia Tenggara.
Curah hujan diperkirakan akan meningkat terutama di Indonesia dan Papua Nugini. Sedangkan untuk negara-negara seperti Thailand, Laos, Myanmar, Kamboja, dan Vietnam, curah hujan diperkirakan menurun sebesar 10% - 20% dibulan Maret sampai Mei. Secara keseluruhan curah hujan tahunan diperkirakan meningkat kecuali di bagian Barat Daya Indonesia.
Kelembaban tanah akan meningkat hingga 1 mm di Papua Nugini dan menurun sekitar 0,6 mm dibagian Barat Papua Nugini, yakni di negara Laos, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, sebagian Indonesai, dan sebagian besar Myanmar.
Dampak perubahan iklim pada kondisi cuaca sebuah wilayah di dunia tentunya akan membawa perubahan kepada kondisi fisik sebuah negara seperti kenaikan muka air laut. Dalam hal ini, Indonesia sebagai negara kepulauan akan merasakan dampak yang besar karena perubahan muka air laut akan mempengaruhi batas wilayah negara. Laporan Bank Dunia yang berjudul “Turn Down the Heat – Climate Extremes, Regional Impacts and the Case for Resulience” yang dirilis pada Juni 2013 menyatakan kawasan pesisir seluruh Asia Tenggara akan mengalami kenaikan muka air laut 10 sampai 15 persen lebih tinggi dibandingakan dengan rata-rata kenaikan muka laut global yaitu 50 cm pada tahun 2050 dan 100 mm pada tahun 2090 yang berdampak pada kota-kota seperti Jakarta, Bangkok, Ho Chi Minh, Manila, dan Yangon.
Apabila kondisi diatas terjadi pada pulau-pulau yang berada pada perairan pedalaman maka dampak yang ditimbulkan adalah berkurangnya otoritas suatu propinsi atas wilayah perairan (jika propinsi tersebut tidak berbatasan langsung dengan negara lain). Namun jika pulau-pulau terluar Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara lain mengalami penyusutan wilayah daratan akibat muka air laut meningkat maka akan menyebabkan pergeseran garis pangkal kepulauan yang artinya Indonesia mengalami pengurangan wilayah daratan dan pengurangan luas perairan hingga secara langsung kekuasan penuh (Kedaulatan) Indonesia atas suatu kawasan akan berkurang.
Pengurangan kawasan perairan tersebut bukan hanya menggeser namun juga merubah garis pangkal kepulauan Indonesia. Sehingga Hak negara Indonesia untuk mengelola dan memanfaatkan wilayah perairan akan berkurang. Tentunya selain hal tersebut, perngurangan kawasan perairan juga akan mengakibatkan beberapa hal lain. Hal-hal yang ditimbulkan akibat berubahnya garis pangkal kepualuan bagi Negara Indonesia ialah :
1.      Berkurangnya luas perairan Indonesia
2.      Terjadi pergeseran garis pangkal kepulauan
3.  Jika pergeseran garis pangkal terjadi pada pulau-pulau yang berbatasan langsung dengan negara tetanggan maka Negara Indonesia harus mengatur kembali batas wilayah dengan negara tersebut
4.      Berkurangnya daerah tangkapan ikan
5.      Terjadi perubahan hak kedaulatan dan hak berdaulat atas suatu wilayah baik perairan maupun daratan Negara Indonesia
Dari ulasan diatas dapat disimpulkan bahwa perubahan pola iklim akan membawa dampak kepada iklim regional dan iklim global di dunia. Perubahan iklim tersebut tentunya akan membawa perubahan pada iklim suatu wilayah negara. Perubahan iklim pada suatu wilayah negara akan mengakibatkan terjadinya perubahan keadaan alam di wilayah negara tersebut yang salah satunya merupakan kenaikan muka air laut. Kenaikan muka air laut memmbawa dampak pada perubahan luasa wilayah sebuah daratan dari negara tersebut yang juga mengakibatkan berubahnya wilayah perairan di sekitarnya. Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki banyak pulau dan wilayah perairan serta banyak berbatasan dengan negara lain di wilayah perairan tentunya akan mendapat banyak imbas dan kenaikan muka air laut  tentunya dapat menyebabkan perubahan iklim perairan di Indonesia yang berdampak pada hak kedaulatan dan hak berdaulat NKRI.




Minggu, 31 Mei 2015

Memetakan Perubahan Wajah Mangrove indonesia



Indonesia sebagai Negara kepulauan tentu sudah tak asing dengan yang namanya garis pantai. Sebagai negara kepulauan yang terdiri atas 17.504 buah pulau besar dan kecil , Indonesia kini memiliki panjang garis pantai sekitar 95.181 KM (Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2009). Dengan pesisir pantai yang membentang itulah resiko abrasi laut dengan berbagai tingkat juga semakin tinggi, dari beberapa sumber data tercatat 20 % dari garis pantai yang ada di Indonesia rusak akibat abrasi gelombang laut yang tinggi. Kondisi garis pantai di setiap wilayah pun beraneka ragam pada kenyataannya. Di pantai selatan jawa misalnya, ombaknya tergolong short current wave dan merupakan gelombang yang cenderung merusak pantai serta memiliki tingkat abrasi tinggi. Hal ini berbeda dengan kondisi pantai utara jawa yang ombaknya lebih rendah tetapi mengalami sedimentasi laut akibat banyaknya industri yang membuang limbah ke laut. Sehingga dengan berbagai karakteristik wilayah tersebut, dibutuhkan penanganan dan pemeliharaan pesisir pantai yang berbeda-beda. Tergantung seberapa besar tingkat abrasi yang terjadi, kondisi ombak di sekitar, dan faktor-faktor lingkungan lainnya seperti industri, kegiatan masyarakat, dan jenis  tanah dan batuan yang ada di wilayah tersebut.



Persebaran hutan mangrove di Dunia (atas) dan di Indonesia (bawah)

Salah satu contoh kasusnya adalah abrasi air laut yang telah menyebabkan sekitar 5-10 desa di Indramayu dalam 20 tahun terakhir hilang. Belum lagi data tahun 2007 yang mengungkapkan sekitar 42,6 km daratan pantai dari 114 km garis pantai di Indramayu juga telah tergerus abrasi. Itu baru disuatu daerah. Bagaimana dengan daerah lainnya? Untuk mencegah dan menanggulangi abrasi di pesisir pantai sendiri diperlukan benteng perlindungan yang mampu menyelamatkan lingkungan, dalam hal ini Mangrove menjadi jawabannya. Tanpa hutan mangrove yang berfungsi sebagai penahan abrasi, kita akan melihat garis pantai Indonesia yang terpanjang kedua di dunia (setelah Kanada) sepanjang 81.000 km akan terkikis habis. Indonesia adalah negara yang mempunyai ekosistem hutan mangrove terluas di dunia dengan luas sekitar 3,8 juta hektar, diikuti Brazil, Australia, Nigeria, dan Mexico. Indonesia memiliki sekitar 40% dari total hutan mangrove di dunia, dan dari jumlah itu sekitar 75% berada di Papua.

Kasus pengrusakan hutan mangrove yang lain di beberapa tempat di Indonesia sangat banyak terjadi. Di Riau, sekitar 6 pulau telah tenggelam akibat abrasi air laut. Keenam pulau itu adalah Nipah, Barkih, Raya, Jenir, Desa Muntai dan Sinabo. Tenggelamnya pulau-pulau tersebut adalah akibat dari eksploitasi hutan mangrove yang membabi-buta di Riau. Di Jawa Tengah, kerusakan hutan mangrove diperkirakan sekitar 90& dari total hutan mangrove yang ada di pantuta, Jateng. Kerusakan itu terjadi di 7 kabupaten, yaitu Rembang, Demak, Jepara, Kota Semarang, Kendal, Kota Tegal, dan Brebes. Abrasi pantai akibat pengrusakan hutan mangrove di tujuh daerah tersebut adalah sekitar 5.400 hektar. Di Kalimantan Timur, kurang lebih 370.000 hektar hutan bakau di provinsi itu sudah hancur dan dikonversi menjadi tambak udang. Sementara luas hutan bakau yang ada diperkirakan tinggal 512.000 hektar. Selain itu, di Bekasi, dari sekitar 15.000 hektar hutan mangrove yang ada, kini hanya tinggal sekitar 600 hektar saja yang tersisa. Pengrusakan itu disebabkan oleh masyarakat sekitar untuk pemukiman. Selain itu masih banyak lagi contoh lain pengrusakan hutan mangrove di Indonesia.



Contoh citra udara dampak abrasi laut di pantai Sayung dari 31/5/2003 sampai dengan 9/9/2013
sumber
: Google earth

Berikut ini disajikan peta Peta yang menjadi petunjuk bahwa Indonesia merupakan pemilik ekosistem hutan mangrove yang paling besar di dunia.


Anda lihat, betapa kayanya Indonesia dengan hutan mangrove-nya. Kekayaan itulah yang seharusnya dijaga dan dipelihara. Sekali lagi, untuk lingkungan dunia yang lebih baik. Sebagaimana diketahui, Mangrove yang ditanam di pinggiran pantai, akar-akarnya mampu menahan ombak sehingga menghambat terjadinya pengikisan pantai. Sayangnya tanaman bakau hanya dapat tumbuh pada tanah gambut yang berlumpur dan belum banyak yang mengetahui hal tersebut. Hal ini menjadi pertimbangan yang sangat sulit karena sebagian besar pantai di Indonesia merupakan perairan yang dasarnya tertutupi oleh pasir, sedangkan tanaman bakau tidak dapat tumbuh pada daerah berpasir. Selain itu, yang turut memprihatinkan adalah kondisi benteng alami di pesisir pantai ini kurang diperhatikan di masyarakat, hal ini terbukti dengan berbagai kasus kerusakan dan hilangnya tutupan Mangrove di sepanjang pesisir pantai. Mengambil contoh kasus di Semarang, akibat hilangnya hutan bakau yang menjadi  pelindung daratan, banyak ikan-ikan yang dibudidayakan di tambak-tambak warga akhirnya hilang terbawa air laut yang naik ke daratan.

Fakta hilangnya hutan bakau di beberapa wilayah pantai utara jawa juga dapat diamati menggunakan citra satelit. di Kabupaten Subang misalnya, dari citra Landsat tahun 2010 dapat dilihat banyak hutan bakau yang menghilang dibandingkan pada tahun 2002. Pembukaan lahan hutan bakau tersebut digunakan sebagai pembangunan permukiman, tambak dan sawah, akibatnya terjadi kemunduran pantai sebesar 392,32 Ha/th pada tahun 2003. Hal serupa juga terjadi di pantai Cisadane, Banten. Pada tahun 1997, terdapat 3 muara sungai Cisadane, sedangkan pada 2005 hanya tersisa 1 muara sungai Cisadane yang diakibatkan oleh perubahan garis pantai, hal ini sebagai dampak dari hilangnya hutan bakau yang ada di muara sungai Cisadane. Tidak berbeda jauh dari Jawa Barat , Di Jawa Tengah pun mengalami hal yang sama. Di Karimun Jawa yang notabene-nya adalah taman nasional pun juga mengalami nasib yang sama,  sekitar 3,73 % hutan bakau rusak akibat pembukaan lahan tambak dan pemanfaatan kayu mangrove oleh masyarakat. Oleh karena itu diperlukan inventarisasi mangrove yang membahas lebih dalam tentang distribusi penanaman Mangrove, luas wilayah tanam, dan tingkat kerapatan penanaman Mangrove disana. Inventarisasi ini berguna untuk pengelolaan dan penetapan kebijakan pada ekosistem mangrove dan daerah pesisir. Dalam melakukan pemantauan dan inventarisasi Mangrove tidaklah mudah. Kesulitan pemetaan di lapangan merupakan kendala kelangkaan data Mangrove itu sendiri. Sebagai alternatifnya maka dikembangkan teknik penginderaan jauh untuk mengamati persebaran dan penanaman Mangrove. Teknik ini memiliki jangkauan yang luas dan dapat memetakan daerah-daerah yang sulit dijangkau dengan perjalanan darat. Salah satu data penginderaan jauh yang dapat dimanfaatkan untuk memantau hutan Mangrove adalah citra Satelit QuickBird. Citra ini memiliki lebar sapuan 16,5 x 16,5 km2 dengan resolusi spasial 2,44 m untuk sensor multispectral. Dari hasil pengamatan hutan mangrove dengan citra satelit diperoleh data-data meliputi distribusi Mangrove, luasan daerah tertanam Mangrove, dan kerapatan penanaman Mangrove disana. 

Dengan berbagai kajian tersebut. Maka diharapkan dapat diperoleh suatu informasi geografis tentang potensi penanaman Mangrove di daerah-daerah yang memiliki garis pantai. Dalam hal ini yang menjadi cakupan wilayah yang dibahas adalah Pantai Utara Jawa. Sebagai daerah dengan garis pantai yang luas dan fenomena abrasi yang cukup tinggi intensitasnya, maka dibutuhkan penanganan khusus dalam penanggulangan dan pencegahan abrasi di daerah ini. Selanjutnya Informasi geografis tersebut dapat digunakan oleh pemerintah daerah sebagai pedoman dalam pengambilan keputusan penanaman Mangrove di daerah, bekerja sama dengan Dinas Kehutanan, Dinas Kelautan, dan Bakosurtanal. Selain itu juga dapat dijadikan pertimbangan penataan kota bersama dengan Dinas Tata Kota untuk mengatur pembangunan di kota-kota yang berada di sepanjang garis pantai/pesisir.



Minggu, 24 Mei 2015

Point Pemerhatian dalam PPK (Pengelolaan Pulau Kecil)

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki berates ribu kepulauan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari Mianggas sampai Pulau Rote. Hal ini tentunya akan menimbulkan banyak peluang sekaligus tantangan dalam berkembangnya Negara Indonesia. Adapun banyaknya permasalahan pulau-pulau kecil yang ada, mendorong untuk segera melakukan pembenahan, terutama dalam konteks kebijakan, sehingga diperlukan upaya pembangunan ekonomi yang berbasis pulau kecil. Keberadaan  Pulau kecil yang ada harus dipacu pertumbuhannya agar dapat bersaing dan menjadi pilar kokoh bagi kedaulatan bangsa.  Oleh karena itu, sangat perlu dilakukan pemastian kebijakan ekonomi kelautan berbasis pulau kecil.

Sayangnya, kebijakan yang dibuat dewasa ini cenderung tidak membumi dan tidak berpihak pada pengembangan dan pembangunan pulau-pulau kecil.  Implementasi kebijakan penanganan pulau-pulau kecil saat ini masih bersifat miss-management, dimana salah satunya disebabkan oleh karena SDM yang mengelola bukan merupakan SDM dengan latar belakang pengelolaan pesisir dan laut. Tidak jarang, SDM yang menangani pengelolaan pulau-pulau kecil dilakukan oleh SDM yang merupakan lulusan sarjana keagamaan, sehingga semangat the right man on the right place tidak terwujud dengan baik.

Kebijakan pemerintah tentang pengelolaan pulau-pulau kecil tidak bersifat spesifik dan menjadi arus utama, sehingga pengembangan ekonomi yang diupayakan cenderung bersifat sporadis dan masih berorientasi ke darat.  Oleh karena itu, diperlukan transformasi fungsi kewenangan yang lebih jelas dan terarah agar penanganan pulau-pulau kecil dapat dikembangkan dengan berbasis kepada kemampuan ekonomi kelautan lokal.  Dalam hal ini, perlu dibuat sentra-sentra pertumbuhan ekonomi kelautan pulau-pulau kecil dengan berbasis kepada tujuh spektrum ekonomi kelautan (Kusumastanto, 2003), yaitu:
(i)                 ekonomi perikanan,
(ii)               ekonomi pariwisata,
(iii)             ekonomi energi dan sumberdaya mineral,
(iv)             ekonomi perhubungan laut,
(v)               ekonomi industri maritim,
(vi)             ekonomi bangunan kelautan,
(vii)           ekonomi jasa kelautan.

Dan, model pendekatan pembangunan pulau berbasis minapolitan dan keberpihakan pulau-pulau kecil seyogyanya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pengembangan ekonomi kelautan pulau-pulau kecil di Indonesia. Impelementasi pendekatan pembangunan ini seyogianya didesain berdasarkan prinsip-prinsip:
(i)                 prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable developmnet);
(ii)               prinsip keterpaduan pembangunan (integrated development);
(iii)             prinsip partisipasi (participation);
(iv)             pemanfaatan sumberdaya secara rasional (rational resource use);
(v)               prinsip pendekatan kehati-hatian (precautionary approach);
(vi)             prinsip kesejahteraan (welfare); dan
(vii)           prinsip kerjasama (cooperation)

  • Konsep pembangunan berkelanjutan mengandung aspek :
(1)   keberlanjutan ekologi, yaitu diantaranya memelihara keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungan, sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistem sebagai perhatian utama;
(2)   keberlanjutan sosio-ekonomi, yaitu dengan memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan pelaku usaha di pulau-pulau kecil pada tingkat individu serta mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan perhatian keberlanjutan;
(3)   keberlanjutan komunitas, yaitu menjadikan komunitas sebagai basis perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan; dan
(4)   keberlanjutan kelembagaan, yaitu menyangkut pemeliharaan aspek finansial dan administrasi yang sehat sebagai prasyarat ketiga pembangunan pulau-pulau kecil. 


  • Prinsip pembangunan berkelanjutan diterapkan diantaranya sebagai upaya agar:
(1)    pemanfaatan sumberdaya tidak melebihi kemampuan regenerasi sumberdaya hayati atau laju inovasi substitusi sumberdaya nonhayati;
(2)    pemanfaatan sumberdaya saat ini tidak boleh mengorbankan (kualitas dan kuantitas) kebutuhan generasi yang akan datang atas sumberdaya alam dan lingkungan; dan
(3)    pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan yang belum diketahui dampaknya harus dilakukan secara hati-hati dan didukung oleh penelitian ilmiah yang memadai.

  • Prinsip keterpaduan pembangunan dikembangkan melalui pengintegrasian kebijakan dengan perencanaan berbagai sektor pemerintahan secara horizontal dan secara vertikal antara pemerintah dan pemerintah daerah, serta mengintegrasikan ekosistem darat dengan ekosistem laut berdasarkan masukan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membantu proses pengambilan putusan dalam pengelolaan ekosistem.
  • Prinsip partisipasi diantaranya dimaksudkan sebagai upaya agar :
o   seluruh stakeholder mempunyai peran dalam perencanaan, pelaksanaan, sampai tahap pengawasan dan pengendalian;
o   memiliki informasi yang terbuka untuk mengetahui kebijaksanaan pemerintah dan mempunyai akses yang cukup untuk memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan;
o   menjamin adanya representasi stakeholder dalam keputusan tersebut; dan
o   memanfaatkan sumberdaya tersebut secara adil.

  • Prinsip pemanfaatan sumberdaya secara rasional (rational resource use) secara langsung menekankan pada negara untuk mengadopsi tindakan pengurangan dan penghapusan kegiatan produksi dan konsumsi yang tidak berkelanjutan yang disebabkan oleh kegiatan manusia. Hak negara untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya disertai dengan tanggung jawab untuk melindungi dan memelihara lingkungan dan keterpaduan ekosistem.
  • Prinsip pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) didasarkan pada Pasal 15 Deklarasi Rio, negara mengadopsi tindakan pencegahan dan antisipasi ketidakpastian ilmiah dari kerusakan lingkungan. Permasalahan ketidakpastian dan kerusakan lingkungan akan diperparah dengan perubahan iklim global. Oleh karena itu, diperlukan tindakan untuk mencegah atau tindakan yang terukur yang dapat merugikan lingkungan laut.
  • Prinsip kesejahteraan (welfare) dalam hal ini ditekankan agar pembangunan kelautan dapat diarahkan pada tujuan utama dari pembangunan itu sendiri, yakni kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, melalui pemanfaatan dan pengelolaan pulua-pulau kecil oleh generasi sekarang dan generasi yang akan datang secara lestari.
  • Prinsip kerjasama (cooperation) dalam hal ini dilatar belakangi bahwa pengelolaan dan pembangunan pulau-pulau kecil merupakan multisektor kewenangan, sehingga perlu kerjasama dalam pengelolaan antar lembaga pemerintah, swasta dan masyarakat.  Indonesia secara aktif melakukan kerjasama dengan berbagai lembaga baik di tingkat regional maupun internasional untuk kepentingan pembangunan pulau-pulau kecil di Indonesia.

Minggu, 29 Maret 2015

Berproses Menuju Poros Maritim Dunia



Istilah “poros maritim” kini semakin populer dan menarik perhatian banyak pihak, tidak terkecuali media massa yang juga kerap memunculkan istilah tersebut dalam pemberitaannya dalam waktu-waktu belakangan ini. Mengemukanya istilah tersebut tidak terlepas dari gagasan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ingin menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Menurut Presiden RI ke-7 tersebut, sebagaimana dikemukakan dalam pidatonya seusai pelantikan di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), 20 Oktober 2014, “kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudera, dan memunggungi selat dan teluk, dan kini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga ‘Jalesveva Jayamahe’, di laut justru kita jaya, sebagaimana semboyan kita di masa lalu, bisa kembali”.

Mengacu kepada keterangan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Andrinof Chaniago, dikatakannya bahwa Jokowi ingin menjadikan wilayah perairan Indonesia sebagai wilayah perairan yang paling aman di dunia bagi semua aktivitas laut, dan untuk itu pemerintah akan menjamin keamanan dan keselamatan transportasi laut yang dilakukan oleh masyarakat maupun pelaku usaha. Untuk itu pula, semua jajaran kementerian Kabinet Kerja Jokowi pun diminta mendukung upaya pemerintah menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Dalam konferensi pers pertama di kantor kementerian luar negeri, 29 Oktober 2014, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menyatakan siap untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritime dunia dan akan mempromosikannya di for a internasional, seperti di KTT APEC, KTT ASEAN, dan G-20 pada bulan November 2014 yang dihadiri oleh Indonesia. Kajian singkat ini mencoba membahas apa saja yang perlu diperhatikan oleh Indonesia dalam upaya menuju poros maritim dunia.

Menjadikan Indonesia sebagai Negara Maritim 

Terlebih dahulu perlu dipahami pengertian negara maritim, mengingat adanya pandangan bahwa meskipun Indonesia memiliki sejumlah prasyarat untuk menjadi kekuatan maritim, sebagaimana yang ditetapkan oleh para ahli strategi maritime seperti Alfred Thayer Mahan dan Geoffrey Till, akan tetapi hingga saat ini Indonesia belum menjadi negara maritim. Status Indonesia barulah sebatas negara kepulauan setelah berlakunya Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982 pada 16 November 1994.

Pakar Hukum Laut Hasjim Djalal mengemukakan bahwa negara maritime tidak sama dengan negara kepulauan. Negara maritim adalah negara yang mampu memanfaatkan laut, walaupun negara tersebut mungkin tidak punya banyak laut, tetapi mempunyai kemampuan teknologi, ilmu pengetahuan, peralatan, dan lain-lain untuk mengelola dan memanfaatkan laut tersebut, baik ruangnya maupun kekayaan alamnya dan letaknya yang strategis. Oleh karena itu, banyak negara kepulauan atau negara pulau yang tidak atau belum menjadi negara maritime karena belum mampu memanfaatkan laut yang sudah berada di dalam kekuasaannya. 

Sebaliknya, banyak negara yang tidak mempunyai laut atau lautnya sangat sedikit tetapi mampu memanfaatkan laut tersebut untuk kepentingannya, misalnya Singapura.Negeri Belanda yang lautnya sangat kecil mampu menjelajahi Samudera Hindia dan menjajah Indonesia hingga ratusan tahun. Indonesia, menurut Hasjim Djalal, adalah negara kepulauan yang kini sedang menuju kembali atau bercita-cita menjadi Negara maritim karena di masa lalu pernah menjadi negara maritim seperti di zaman Sriwijaya dan Majapahit. Di masa itu, bangsa Indonesia malah menjelajah jauh sampai ke Afrika Timur (Madagaskar) dan ke Pasifik Selatan.

Ini artinya, jika Indonesia ingin menjadi poros maritim dunia, terlebih dahulu Indonesia harus berupaya menjadi negara maritim. Untuk menjadi Negara maritim, menurut Hasjim Djalal, Indonesia harus mampu mengelola dan memanfaatkan kekayaan dan ruang lautnya, antara lain: mengenal berbagai jenis laut Indonesia dengan berbagai ketentuannya; mengenal dan menghormati hak-hak internasional atas perairan Indonesia; mampu menghapus praktik ilegal dan mencegah segala macam bentuk pelanggaran hukum di wilayah perairan Indonesia dan juga di daerah kewenangannya; mampu menetapkan dan mengelola perbatasan maritim dengan Negara tetangga dan menjaga keamanannya; mampu menjaga keselamatan pelayaran yang melalui perairan Indonesia; mampu memanfaatkan kekayaan alam dan ruang di luar perairan Indonesia seperti di laut bebas dan di dasar laut internasional. Singkatnya, negara maritime Indonesia selain harus mampu memanfaatkan semua unsur kelautan di sekelilingnya untuk kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa, juga harus mampu menghadirkan kekuatan keamanan laut yang memadai, semacam sea and coast guard, guna menjaga keamanan perairan Indonesia dari berbagai tindak pelanggaran hukum.

Merespons Permasalahan Keamanan Maritim Kawasan 

Jika dielaborasi lebih jauh, untuk menjadi negara dan poros maritim, Indonesia juga harus merespons dan turut mencari solusi atas berbagai permasalahan keamanan maritime kawasan. Posisi Indonesia sebagai Negara kepulauan yang berada di persimpangan dua samudera (Hindia dan Pasifik), dimana sebagian dari wilayah perairannya yang luas menjadi jalur perlintasan maritim dunia, membuat Indonesia tidak bisa mengabaikan permasalahan keamanan kawasan yang terkait dengan maritim. Ini artinya, selain Indonesia harus menjamin keamanan maritime di perairan yurisdiksinya, Indonesia juga harus peduli dan menaruh perhatian terhadap berbagai permasalahan keamanan maritime kawasan (khususnya yang mengemuka di kawasan Asia Tenggara), karena jika permasalahan keamanan maritim tersebut tidak tertangani dengan baik maka akan berimplikasi juga terhadap Indonesia.

Sengketa perbatasan maritim yang hingga kini masih terjadi di antara sejumlah negara kawasan dan belum tuntas diselesaikan secara damai adalah salah satu permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian serius. Sengketa teritorial di Laut China Selatan yang melibatkan sejumlah negara anggota ASEAN (Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalam) dengan Tiongkok, yang dalam tahun-tahun belakangan ini kembali memanas, adalah salah satunya. Meskipun bukan menjadi bagian dari negara yang bersengketa, Indonesia perlu menjadi bagian dari pencarian solusi damai atas masalah tersebut.

Permasalahan keamanan maritime lainnya yang juga perlu mendapat perhatian adalah ancaman-ancaman nonkonvensional, terutama yang datang dari berbagai tindak kejahatan transnasional, yang secara langsung juga mengancam wibawa dan wilayah negara, diantaranya adalah perompakan dan pembajakan, serta terorisme maritim. Perairan Asia Tenggara, khususnya Selat Malaka, merupakan jalur pelayaran yang cukup penting dan strategis yang menghubungkan wilayah Asia dengan Eropa dan Timur Tengah. Semakin banyaknya pelayaran internasional, terutama kapal-kapal dagang dan tanker minyak manca negara yang melintas di wilayah perairan Asia Tenggara, dapat mengundang perhatian kelompokkelompok atau pihak-pihak tertentu yang berniat melakukan tindak kejahatan untuk melakukan perompakan atau pembajakan.

Kemungkinan bagi terjadinya terorisme maritim juga perlu menjadi perhatian meskipun belum menjadi ancaman nyata saat ini. Namun sulit disangkal bahwa perairan Asia Tenggara sangat rawan. Semakin banyaknya pelayaran kapal-kapal dagang di wilayah ini dapat mengundang organisasi teroris melakukan perompakan, baik untuk penggalangan dana maupun sekedar menebarkan iklim ketidakpastian. Meskipun kebanyakan perompakan dan pembajakan di perairan kawasan ini lebih berorientasi pada aspek ekonomi, namun bisa saja orientasi tersebut bergeser ke arah ideologi dan terorisme. Potensi bagi terjadinya terorisme cukup besar, mengingat di kawasan ini juga terdapat kelompok-kelompok militan yang suatu saat bisa saja menebar ancaman di lautan.

Perairan Asia Tenggara yang kaya akan sumber daya perikanan, terutama di perairan Indonesia juga menjadi daya tarik tersendiri bagi pihak-pihak tertentu, termasuk asing, untuk melakukan penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing). Perairan Indonesia yang rawan dari kegiatan illegal fishing tersebut menyebar mulai dari perairan utara Aceh, Laut Natuna, Laut Sulawesi, Samudera Hindia bagian selatan, Laut Aru (Maluku), hingga Laut Arafura di sekitar Papua. Berbagai cara ilegal dilakukan oleh nelayan lokal maupun asing untuk mengeksplorasi sumber daya perikanan Indonesia ditengah keterbatasan pengawasan aparat dan armada kapal patrol Indonesia.

Aktivitas penyelundupan, baik barang maupun orang, yang dilakukan melalui jalur laut sudah tentu juga menjadi persoalan serius bagi keamanan maritim. Hal ini tidak mengherankan mengingat transportasi laut masih menjadi andalan utama dalam lalu-lintas perdagangan dunia, di mana sepertiganya melalui Selat Malaka yang juga menjadi bagian dari perairan Indonesia. Ini artinya, pada saat yang bersamaan aktivitas penyelundupan berpotensi untuk terjadi, seperti penyelundupan senjata api ilegal, narkoba, bahan bakar minyak, hingga manusia. Permasalahan lingkungan juga menjadi isu penting yang perlu diperhatikan mengingat kondisi lingkungan hidup, termasuk di laut, dari hari ke hari semakin menunjukkan penurunan kualitas yang cukup signifikan.

Kepentingan negara-negara luar kawasan atas wilayah perairan Asia Tenggara juga perlu menjadi perhatian. Kepentingan utama bagi negara-negara luar kawasan, terutama Tiongkok, Jepang dan Amerika Serikat, adalah kepastian akses dan/atau ketersediaan sumber daya. Bagi mereka, alur laut di perairan Asia Tenggara, termasuk Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), hamper tidak tergantikan. Perubahan rute ke Selat Lombok atau Selat Sunda saja, misalnya, akan membawa beban finansial tambahan bagi mereka. Ini artinya, kepentingan Negara-negara luar kawasan terhadap perairan Asia Tenggara juga harus diantisipasi dan direspons oleh Indonesia.

Diplomasi Ekonomi Maritim

Di bidang diplomasi, Indonesia juga perlu mengarahkan sasaran diplomasinya untuk mendukung pencapaian sebagai negara maritim dan poros maritim. Terkait dengan hal ini, diplomasi ekonomi maritime menjadi sebuah keharusan bagi Indonesia. Saat ini, tidak ada satu negara pun yang tidak mengutamakan diplomasi ekonomi. Semua hubungan antarnegara pada akhirnya berujung pada hitung-hitungan ekonomi. Diplomasi ekonomi diharapkan dapat menopang upaya pemerintah menciptakan perekonomian nasional yang lebih mandiri dan kompetitif. Untuk itu, sasaran diplomasi harus diarahkan untuk mendorong penguatan kerja sama internasional yang dapat mendayagunakan segenap potensi Indonesia sebagai negara kepulauan secara dinamis. Dalam konteks ini, Indonesia perlu menempatkan keberadaan lautnya sebagai suatu keunggulan komparatif dan kompetitif dalam melakukan hubungan dengan bangsa-bangsa di dunia.

Potensi nilai total ekonomi sector kelautan dan perikanan Indonesia yang mencapai lebih 1 triliun dollar AS (Koran Tempo, 5 Oktober 2013) tentu merupakan suatu modal yang lebih dari cukup untuk melaksanakan diplomasi ekonomi maritim. Diplomasi ekonomi maritim harus diterjemahkan ke dalam langkah-langkah konkret yang mengonsolidasikan semua kerja sama internasional yang dapat mendorong pemanfaatan semua potensi dan kekayaan laut Indonesia. Mengingat sektor perikanan merupakan salah satu pilar ekonomi nasional, maka diplomasi ekonomi perlu ditekankan pada upaya peningkatan nilai tambah sector perikanan Indonesia, antara lain dengan merumuskan suatu strategi khusus untuk menembus pasar internasional bagi ekspor perikanan Indonesia.

Selain memprioritaskan pemanfaatan hasil kelautan, diplomasi ekonomi maritime diharapkan dapat mendorong penguatan investasi asing yang dapat menunjang pembangunan di bidang kelautan maupun meningkatkan daya dukung infrastruktur kelautan untuk memanfaatkan sumber daya laut secara baik. Menarik investasi asing di bidang transportasi, pelabuhan, komunikasi, pertambangan, dan pengembangan energy alternatif di sektor kelautan harus menjadi salah satu sasaran utama diplomasi ekonomi maritim.

Untuk menuju poros maritim, terlebih dahulu Indonesia harus berupaya dan memperkuat statusnya ke arah Negara maritim. Untuk itu, Indonesia harus mampu memanfaatkan semua unsur kelautan di sekelilingnya untuk kepentingan nasional. Indonesia juga harus peduli dan merespons berbagai permasalahan keamanan maritime yang mengancam kepentingan nasional dan stabilitas kawasan, dan terkait hal ini, utamanya dalam kerangka penegakan hukum di laut, maka pembentukan badan keamanan laut semacam sea and coast guard menjadi suatu keharusan bagi Indonesia. Diplomasi ekonomi maritim juga perlu menjadi perhatian dalam upaya mendukung pencapaian Indonesia sebagai Negara maritim dan poros maritim dunia, antara lain dengan mengonsolidasikan semua kerja sama internasional yang dapat mendorong pemanfaatan semua potensi dan kekayaan laut Indonesia.

Referensi:
  • Budi Kurniawan Supangat and Dimas Muhamad, “Defining Jokowi’s vision of a maritime axis”, The Jakarta Post, 21 Oktober 2014.
  • Chandra Motik, Hasjim Djalal, Negara kepulauan menuju Negara maritim: 75 tahun Prof. Dr. Hasjim Djalal, MA, Jakarta: Lembaga Laut Indonesia, 2011.
  • “Potensi Kelautan dan Perikanan Indonesia US$ 1,2 T”, Koran Tempo, 5 Oktober 2013.
  • Robert Cribb, Michele Ford, editors, Indonesia beyond the Waters Edge: Managing an Archipelagic State, Publisher: Institute of Southeast Asian Studies, 2009.