Minggu, 29 Maret 2015

Berproses Menuju Poros Maritim Dunia



Istilah “poros maritim” kini semakin populer dan menarik perhatian banyak pihak, tidak terkecuali media massa yang juga kerap memunculkan istilah tersebut dalam pemberitaannya dalam waktu-waktu belakangan ini. Mengemukanya istilah tersebut tidak terlepas dari gagasan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ingin menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Menurut Presiden RI ke-7 tersebut, sebagaimana dikemukakan dalam pidatonya seusai pelantikan di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), 20 Oktober 2014, “kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudera, dan memunggungi selat dan teluk, dan kini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga ‘Jalesveva Jayamahe’, di laut justru kita jaya, sebagaimana semboyan kita di masa lalu, bisa kembali”.

Mengacu kepada keterangan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Andrinof Chaniago, dikatakannya bahwa Jokowi ingin menjadikan wilayah perairan Indonesia sebagai wilayah perairan yang paling aman di dunia bagi semua aktivitas laut, dan untuk itu pemerintah akan menjamin keamanan dan keselamatan transportasi laut yang dilakukan oleh masyarakat maupun pelaku usaha. Untuk itu pula, semua jajaran kementerian Kabinet Kerja Jokowi pun diminta mendukung upaya pemerintah menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Dalam konferensi pers pertama di kantor kementerian luar negeri, 29 Oktober 2014, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menyatakan siap untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritime dunia dan akan mempromosikannya di for a internasional, seperti di KTT APEC, KTT ASEAN, dan G-20 pada bulan November 2014 yang dihadiri oleh Indonesia. Kajian singkat ini mencoba membahas apa saja yang perlu diperhatikan oleh Indonesia dalam upaya menuju poros maritim dunia.

Menjadikan Indonesia sebagai Negara Maritim 

Terlebih dahulu perlu dipahami pengertian negara maritim, mengingat adanya pandangan bahwa meskipun Indonesia memiliki sejumlah prasyarat untuk menjadi kekuatan maritim, sebagaimana yang ditetapkan oleh para ahli strategi maritime seperti Alfred Thayer Mahan dan Geoffrey Till, akan tetapi hingga saat ini Indonesia belum menjadi negara maritim. Status Indonesia barulah sebatas negara kepulauan setelah berlakunya Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982 pada 16 November 1994.

Pakar Hukum Laut Hasjim Djalal mengemukakan bahwa negara maritime tidak sama dengan negara kepulauan. Negara maritim adalah negara yang mampu memanfaatkan laut, walaupun negara tersebut mungkin tidak punya banyak laut, tetapi mempunyai kemampuan teknologi, ilmu pengetahuan, peralatan, dan lain-lain untuk mengelola dan memanfaatkan laut tersebut, baik ruangnya maupun kekayaan alamnya dan letaknya yang strategis. Oleh karena itu, banyak negara kepulauan atau negara pulau yang tidak atau belum menjadi negara maritime karena belum mampu memanfaatkan laut yang sudah berada di dalam kekuasaannya. 

Sebaliknya, banyak negara yang tidak mempunyai laut atau lautnya sangat sedikit tetapi mampu memanfaatkan laut tersebut untuk kepentingannya, misalnya Singapura.Negeri Belanda yang lautnya sangat kecil mampu menjelajahi Samudera Hindia dan menjajah Indonesia hingga ratusan tahun. Indonesia, menurut Hasjim Djalal, adalah negara kepulauan yang kini sedang menuju kembali atau bercita-cita menjadi Negara maritim karena di masa lalu pernah menjadi negara maritim seperti di zaman Sriwijaya dan Majapahit. Di masa itu, bangsa Indonesia malah menjelajah jauh sampai ke Afrika Timur (Madagaskar) dan ke Pasifik Selatan.

Ini artinya, jika Indonesia ingin menjadi poros maritim dunia, terlebih dahulu Indonesia harus berupaya menjadi negara maritim. Untuk menjadi Negara maritim, menurut Hasjim Djalal, Indonesia harus mampu mengelola dan memanfaatkan kekayaan dan ruang lautnya, antara lain: mengenal berbagai jenis laut Indonesia dengan berbagai ketentuannya; mengenal dan menghormati hak-hak internasional atas perairan Indonesia; mampu menghapus praktik ilegal dan mencegah segala macam bentuk pelanggaran hukum di wilayah perairan Indonesia dan juga di daerah kewenangannya; mampu menetapkan dan mengelola perbatasan maritim dengan Negara tetangga dan menjaga keamanannya; mampu menjaga keselamatan pelayaran yang melalui perairan Indonesia; mampu memanfaatkan kekayaan alam dan ruang di luar perairan Indonesia seperti di laut bebas dan di dasar laut internasional. Singkatnya, negara maritime Indonesia selain harus mampu memanfaatkan semua unsur kelautan di sekelilingnya untuk kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa, juga harus mampu menghadirkan kekuatan keamanan laut yang memadai, semacam sea and coast guard, guna menjaga keamanan perairan Indonesia dari berbagai tindak pelanggaran hukum.

Merespons Permasalahan Keamanan Maritim Kawasan 

Jika dielaborasi lebih jauh, untuk menjadi negara dan poros maritim, Indonesia juga harus merespons dan turut mencari solusi atas berbagai permasalahan keamanan maritime kawasan. Posisi Indonesia sebagai Negara kepulauan yang berada di persimpangan dua samudera (Hindia dan Pasifik), dimana sebagian dari wilayah perairannya yang luas menjadi jalur perlintasan maritim dunia, membuat Indonesia tidak bisa mengabaikan permasalahan keamanan kawasan yang terkait dengan maritim. Ini artinya, selain Indonesia harus menjamin keamanan maritime di perairan yurisdiksinya, Indonesia juga harus peduli dan menaruh perhatian terhadap berbagai permasalahan keamanan maritime kawasan (khususnya yang mengemuka di kawasan Asia Tenggara), karena jika permasalahan keamanan maritim tersebut tidak tertangani dengan baik maka akan berimplikasi juga terhadap Indonesia.

Sengketa perbatasan maritim yang hingga kini masih terjadi di antara sejumlah negara kawasan dan belum tuntas diselesaikan secara damai adalah salah satu permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian serius. Sengketa teritorial di Laut China Selatan yang melibatkan sejumlah negara anggota ASEAN (Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalam) dengan Tiongkok, yang dalam tahun-tahun belakangan ini kembali memanas, adalah salah satunya. Meskipun bukan menjadi bagian dari negara yang bersengketa, Indonesia perlu menjadi bagian dari pencarian solusi damai atas masalah tersebut.

Permasalahan keamanan maritime lainnya yang juga perlu mendapat perhatian adalah ancaman-ancaman nonkonvensional, terutama yang datang dari berbagai tindak kejahatan transnasional, yang secara langsung juga mengancam wibawa dan wilayah negara, diantaranya adalah perompakan dan pembajakan, serta terorisme maritim. Perairan Asia Tenggara, khususnya Selat Malaka, merupakan jalur pelayaran yang cukup penting dan strategis yang menghubungkan wilayah Asia dengan Eropa dan Timur Tengah. Semakin banyaknya pelayaran internasional, terutama kapal-kapal dagang dan tanker minyak manca negara yang melintas di wilayah perairan Asia Tenggara, dapat mengundang perhatian kelompokkelompok atau pihak-pihak tertentu yang berniat melakukan tindak kejahatan untuk melakukan perompakan atau pembajakan.

Kemungkinan bagi terjadinya terorisme maritim juga perlu menjadi perhatian meskipun belum menjadi ancaman nyata saat ini. Namun sulit disangkal bahwa perairan Asia Tenggara sangat rawan. Semakin banyaknya pelayaran kapal-kapal dagang di wilayah ini dapat mengundang organisasi teroris melakukan perompakan, baik untuk penggalangan dana maupun sekedar menebarkan iklim ketidakpastian. Meskipun kebanyakan perompakan dan pembajakan di perairan kawasan ini lebih berorientasi pada aspek ekonomi, namun bisa saja orientasi tersebut bergeser ke arah ideologi dan terorisme. Potensi bagi terjadinya terorisme cukup besar, mengingat di kawasan ini juga terdapat kelompok-kelompok militan yang suatu saat bisa saja menebar ancaman di lautan.

Perairan Asia Tenggara yang kaya akan sumber daya perikanan, terutama di perairan Indonesia juga menjadi daya tarik tersendiri bagi pihak-pihak tertentu, termasuk asing, untuk melakukan penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing). Perairan Indonesia yang rawan dari kegiatan illegal fishing tersebut menyebar mulai dari perairan utara Aceh, Laut Natuna, Laut Sulawesi, Samudera Hindia bagian selatan, Laut Aru (Maluku), hingga Laut Arafura di sekitar Papua. Berbagai cara ilegal dilakukan oleh nelayan lokal maupun asing untuk mengeksplorasi sumber daya perikanan Indonesia ditengah keterbatasan pengawasan aparat dan armada kapal patrol Indonesia.

Aktivitas penyelundupan, baik barang maupun orang, yang dilakukan melalui jalur laut sudah tentu juga menjadi persoalan serius bagi keamanan maritim. Hal ini tidak mengherankan mengingat transportasi laut masih menjadi andalan utama dalam lalu-lintas perdagangan dunia, di mana sepertiganya melalui Selat Malaka yang juga menjadi bagian dari perairan Indonesia. Ini artinya, pada saat yang bersamaan aktivitas penyelundupan berpotensi untuk terjadi, seperti penyelundupan senjata api ilegal, narkoba, bahan bakar minyak, hingga manusia. Permasalahan lingkungan juga menjadi isu penting yang perlu diperhatikan mengingat kondisi lingkungan hidup, termasuk di laut, dari hari ke hari semakin menunjukkan penurunan kualitas yang cukup signifikan.

Kepentingan negara-negara luar kawasan atas wilayah perairan Asia Tenggara juga perlu menjadi perhatian. Kepentingan utama bagi negara-negara luar kawasan, terutama Tiongkok, Jepang dan Amerika Serikat, adalah kepastian akses dan/atau ketersediaan sumber daya. Bagi mereka, alur laut di perairan Asia Tenggara, termasuk Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), hamper tidak tergantikan. Perubahan rute ke Selat Lombok atau Selat Sunda saja, misalnya, akan membawa beban finansial tambahan bagi mereka. Ini artinya, kepentingan Negara-negara luar kawasan terhadap perairan Asia Tenggara juga harus diantisipasi dan direspons oleh Indonesia.

Diplomasi Ekonomi Maritim

Di bidang diplomasi, Indonesia juga perlu mengarahkan sasaran diplomasinya untuk mendukung pencapaian sebagai negara maritim dan poros maritim. Terkait dengan hal ini, diplomasi ekonomi maritime menjadi sebuah keharusan bagi Indonesia. Saat ini, tidak ada satu negara pun yang tidak mengutamakan diplomasi ekonomi. Semua hubungan antarnegara pada akhirnya berujung pada hitung-hitungan ekonomi. Diplomasi ekonomi diharapkan dapat menopang upaya pemerintah menciptakan perekonomian nasional yang lebih mandiri dan kompetitif. Untuk itu, sasaran diplomasi harus diarahkan untuk mendorong penguatan kerja sama internasional yang dapat mendayagunakan segenap potensi Indonesia sebagai negara kepulauan secara dinamis. Dalam konteks ini, Indonesia perlu menempatkan keberadaan lautnya sebagai suatu keunggulan komparatif dan kompetitif dalam melakukan hubungan dengan bangsa-bangsa di dunia.

Potensi nilai total ekonomi sector kelautan dan perikanan Indonesia yang mencapai lebih 1 triliun dollar AS (Koran Tempo, 5 Oktober 2013) tentu merupakan suatu modal yang lebih dari cukup untuk melaksanakan diplomasi ekonomi maritim. Diplomasi ekonomi maritim harus diterjemahkan ke dalam langkah-langkah konkret yang mengonsolidasikan semua kerja sama internasional yang dapat mendorong pemanfaatan semua potensi dan kekayaan laut Indonesia. Mengingat sektor perikanan merupakan salah satu pilar ekonomi nasional, maka diplomasi ekonomi perlu ditekankan pada upaya peningkatan nilai tambah sector perikanan Indonesia, antara lain dengan merumuskan suatu strategi khusus untuk menembus pasar internasional bagi ekspor perikanan Indonesia.

Selain memprioritaskan pemanfaatan hasil kelautan, diplomasi ekonomi maritime diharapkan dapat mendorong penguatan investasi asing yang dapat menunjang pembangunan di bidang kelautan maupun meningkatkan daya dukung infrastruktur kelautan untuk memanfaatkan sumber daya laut secara baik. Menarik investasi asing di bidang transportasi, pelabuhan, komunikasi, pertambangan, dan pengembangan energy alternatif di sektor kelautan harus menjadi salah satu sasaran utama diplomasi ekonomi maritim.

Untuk menuju poros maritim, terlebih dahulu Indonesia harus berupaya dan memperkuat statusnya ke arah Negara maritim. Untuk itu, Indonesia harus mampu memanfaatkan semua unsur kelautan di sekelilingnya untuk kepentingan nasional. Indonesia juga harus peduli dan merespons berbagai permasalahan keamanan maritime yang mengancam kepentingan nasional dan stabilitas kawasan, dan terkait hal ini, utamanya dalam kerangka penegakan hukum di laut, maka pembentukan badan keamanan laut semacam sea and coast guard menjadi suatu keharusan bagi Indonesia. Diplomasi ekonomi maritim juga perlu menjadi perhatian dalam upaya mendukung pencapaian Indonesia sebagai Negara maritim dan poros maritim dunia, antara lain dengan mengonsolidasikan semua kerja sama internasional yang dapat mendorong pemanfaatan semua potensi dan kekayaan laut Indonesia.

Referensi:
  • Budi Kurniawan Supangat and Dimas Muhamad, “Defining Jokowi’s vision of a maritime axis”, The Jakarta Post, 21 Oktober 2014.
  • Chandra Motik, Hasjim Djalal, Negara kepulauan menuju Negara maritim: 75 tahun Prof. Dr. Hasjim Djalal, MA, Jakarta: Lembaga Laut Indonesia, 2011.
  • “Potensi Kelautan dan Perikanan Indonesia US$ 1,2 T”, Koran Tempo, 5 Oktober 2013.
  • Robert Cribb, Michele Ford, editors, Indonesia beyond the Waters Edge: Managing an Archipelagic State, Publisher: Institute of Southeast Asian Studies, 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar