Minggu, 29 Maret 2015

Berproses Menuju Poros Maritim Dunia



Istilah “poros maritim” kini semakin populer dan menarik perhatian banyak pihak, tidak terkecuali media massa yang juga kerap memunculkan istilah tersebut dalam pemberitaannya dalam waktu-waktu belakangan ini. Mengemukanya istilah tersebut tidak terlepas dari gagasan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ingin menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Menurut Presiden RI ke-7 tersebut, sebagaimana dikemukakan dalam pidatonya seusai pelantikan di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), 20 Oktober 2014, “kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudera, dan memunggungi selat dan teluk, dan kini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga ‘Jalesveva Jayamahe’, di laut justru kita jaya, sebagaimana semboyan kita di masa lalu, bisa kembali”.

Mengacu kepada keterangan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Andrinof Chaniago, dikatakannya bahwa Jokowi ingin menjadikan wilayah perairan Indonesia sebagai wilayah perairan yang paling aman di dunia bagi semua aktivitas laut, dan untuk itu pemerintah akan menjamin keamanan dan keselamatan transportasi laut yang dilakukan oleh masyarakat maupun pelaku usaha. Untuk itu pula, semua jajaran kementerian Kabinet Kerja Jokowi pun diminta mendukung upaya pemerintah menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Dalam konferensi pers pertama di kantor kementerian luar negeri, 29 Oktober 2014, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menyatakan siap untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritime dunia dan akan mempromosikannya di for a internasional, seperti di KTT APEC, KTT ASEAN, dan G-20 pada bulan November 2014 yang dihadiri oleh Indonesia. Kajian singkat ini mencoba membahas apa saja yang perlu diperhatikan oleh Indonesia dalam upaya menuju poros maritim dunia.

Menjadikan Indonesia sebagai Negara Maritim 

Terlebih dahulu perlu dipahami pengertian negara maritim, mengingat adanya pandangan bahwa meskipun Indonesia memiliki sejumlah prasyarat untuk menjadi kekuatan maritim, sebagaimana yang ditetapkan oleh para ahli strategi maritime seperti Alfred Thayer Mahan dan Geoffrey Till, akan tetapi hingga saat ini Indonesia belum menjadi negara maritim. Status Indonesia barulah sebatas negara kepulauan setelah berlakunya Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982 pada 16 November 1994.

Pakar Hukum Laut Hasjim Djalal mengemukakan bahwa negara maritime tidak sama dengan negara kepulauan. Negara maritim adalah negara yang mampu memanfaatkan laut, walaupun negara tersebut mungkin tidak punya banyak laut, tetapi mempunyai kemampuan teknologi, ilmu pengetahuan, peralatan, dan lain-lain untuk mengelola dan memanfaatkan laut tersebut, baik ruangnya maupun kekayaan alamnya dan letaknya yang strategis. Oleh karena itu, banyak negara kepulauan atau negara pulau yang tidak atau belum menjadi negara maritime karena belum mampu memanfaatkan laut yang sudah berada di dalam kekuasaannya. 

Sebaliknya, banyak negara yang tidak mempunyai laut atau lautnya sangat sedikit tetapi mampu memanfaatkan laut tersebut untuk kepentingannya, misalnya Singapura.Negeri Belanda yang lautnya sangat kecil mampu menjelajahi Samudera Hindia dan menjajah Indonesia hingga ratusan tahun. Indonesia, menurut Hasjim Djalal, adalah negara kepulauan yang kini sedang menuju kembali atau bercita-cita menjadi Negara maritim karena di masa lalu pernah menjadi negara maritim seperti di zaman Sriwijaya dan Majapahit. Di masa itu, bangsa Indonesia malah menjelajah jauh sampai ke Afrika Timur (Madagaskar) dan ke Pasifik Selatan.

Ini artinya, jika Indonesia ingin menjadi poros maritim dunia, terlebih dahulu Indonesia harus berupaya menjadi negara maritim. Untuk menjadi Negara maritim, menurut Hasjim Djalal, Indonesia harus mampu mengelola dan memanfaatkan kekayaan dan ruang lautnya, antara lain: mengenal berbagai jenis laut Indonesia dengan berbagai ketentuannya; mengenal dan menghormati hak-hak internasional atas perairan Indonesia; mampu menghapus praktik ilegal dan mencegah segala macam bentuk pelanggaran hukum di wilayah perairan Indonesia dan juga di daerah kewenangannya; mampu menetapkan dan mengelola perbatasan maritim dengan Negara tetangga dan menjaga keamanannya; mampu menjaga keselamatan pelayaran yang melalui perairan Indonesia; mampu memanfaatkan kekayaan alam dan ruang di luar perairan Indonesia seperti di laut bebas dan di dasar laut internasional. Singkatnya, negara maritime Indonesia selain harus mampu memanfaatkan semua unsur kelautan di sekelilingnya untuk kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa, juga harus mampu menghadirkan kekuatan keamanan laut yang memadai, semacam sea and coast guard, guna menjaga keamanan perairan Indonesia dari berbagai tindak pelanggaran hukum.

Merespons Permasalahan Keamanan Maritim Kawasan 

Jika dielaborasi lebih jauh, untuk menjadi negara dan poros maritim, Indonesia juga harus merespons dan turut mencari solusi atas berbagai permasalahan keamanan maritime kawasan. Posisi Indonesia sebagai Negara kepulauan yang berada di persimpangan dua samudera (Hindia dan Pasifik), dimana sebagian dari wilayah perairannya yang luas menjadi jalur perlintasan maritim dunia, membuat Indonesia tidak bisa mengabaikan permasalahan keamanan kawasan yang terkait dengan maritim. Ini artinya, selain Indonesia harus menjamin keamanan maritime di perairan yurisdiksinya, Indonesia juga harus peduli dan menaruh perhatian terhadap berbagai permasalahan keamanan maritime kawasan (khususnya yang mengemuka di kawasan Asia Tenggara), karena jika permasalahan keamanan maritim tersebut tidak tertangani dengan baik maka akan berimplikasi juga terhadap Indonesia.

Sengketa perbatasan maritim yang hingga kini masih terjadi di antara sejumlah negara kawasan dan belum tuntas diselesaikan secara damai adalah salah satu permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian serius. Sengketa teritorial di Laut China Selatan yang melibatkan sejumlah negara anggota ASEAN (Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalam) dengan Tiongkok, yang dalam tahun-tahun belakangan ini kembali memanas, adalah salah satunya. Meskipun bukan menjadi bagian dari negara yang bersengketa, Indonesia perlu menjadi bagian dari pencarian solusi damai atas masalah tersebut.

Permasalahan keamanan maritime lainnya yang juga perlu mendapat perhatian adalah ancaman-ancaman nonkonvensional, terutama yang datang dari berbagai tindak kejahatan transnasional, yang secara langsung juga mengancam wibawa dan wilayah negara, diantaranya adalah perompakan dan pembajakan, serta terorisme maritim. Perairan Asia Tenggara, khususnya Selat Malaka, merupakan jalur pelayaran yang cukup penting dan strategis yang menghubungkan wilayah Asia dengan Eropa dan Timur Tengah. Semakin banyaknya pelayaran internasional, terutama kapal-kapal dagang dan tanker minyak manca negara yang melintas di wilayah perairan Asia Tenggara, dapat mengundang perhatian kelompokkelompok atau pihak-pihak tertentu yang berniat melakukan tindak kejahatan untuk melakukan perompakan atau pembajakan.

Kemungkinan bagi terjadinya terorisme maritim juga perlu menjadi perhatian meskipun belum menjadi ancaman nyata saat ini. Namun sulit disangkal bahwa perairan Asia Tenggara sangat rawan. Semakin banyaknya pelayaran kapal-kapal dagang di wilayah ini dapat mengundang organisasi teroris melakukan perompakan, baik untuk penggalangan dana maupun sekedar menebarkan iklim ketidakpastian. Meskipun kebanyakan perompakan dan pembajakan di perairan kawasan ini lebih berorientasi pada aspek ekonomi, namun bisa saja orientasi tersebut bergeser ke arah ideologi dan terorisme. Potensi bagi terjadinya terorisme cukup besar, mengingat di kawasan ini juga terdapat kelompok-kelompok militan yang suatu saat bisa saja menebar ancaman di lautan.

Perairan Asia Tenggara yang kaya akan sumber daya perikanan, terutama di perairan Indonesia juga menjadi daya tarik tersendiri bagi pihak-pihak tertentu, termasuk asing, untuk melakukan penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing). Perairan Indonesia yang rawan dari kegiatan illegal fishing tersebut menyebar mulai dari perairan utara Aceh, Laut Natuna, Laut Sulawesi, Samudera Hindia bagian selatan, Laut Aru (Maluku), hingga Laut Arafura di sekitar Papua. Berbagai cara ilegal dilakukan oleh nelayan lokal maupun asing untuk mengeksplorasi sumber daya perikanan Indonesia ditengah keterbatasan pengawasan aparat dan armada kapal patrol Indonesia.

Aktivitas penyelundupan, baik barang maupun orang, yang dilakukan melalui jalur laut sudah tentu juga menjadi persoalan serius bagi keamanan maritim. Hal ini tidak mengherankan mengingat transportasi laut masih menjadi andalan utama dalam lalu-lintas perdagangan dunia, di mana sepertiganya melalui Selat Malaka yang juga menjadi bagian dari perairan Indonesia. Ini artinya, pada saat yang bersamaan aktivitas penyelundupan berpotensi untuk terjadi, seperti penyelundupan senjata api ilegal, narkoba, bahan bakar minyak, hingga manusia. Permasalahan lingkungan juga menjadi isu penting yang perlu diperhatikan mengingat kondisi lingkungan hidup, termasuk di laut, dari hari ke hari semakin menunjukkan penurunan kualitas yang cukup signifikan.

Kepentingan negara-negara luar kawasan atas wilayah perairan Asia Tenggara juga perlu menjadi perhatian. Kepentingan utama bagi negara-negara luar kawasan, terutama Tiongkok, Jepang dan Amerika Serikat, adalah kepastian akses dan/atau ketersediaan sumber daya. Bagi mereka, alur laut di perairan Asia Tenggara, termasuk Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), hamper tidak tergantikan. Perubahan rute ke Selat Lombok atau Selat Sunda saja, misalnya, akan membawa beban finansial tambahan bagi mereka. Ini artinya, kepentingan Negara-negara luar kawasan terhadap perairan Asia Tenggara juga harus diantisipasi dan direspons oleh Indonesia.

Diplomasi Ekonomi Maritim

Di bidang diplomasi, Indonesia juga perlu mengarahkan sasaran diplomasinya untuk mendukung pencapaian sebagai negara maritim dan poros maritim. Terkait dengan hal ini, diplomasi ekonomi maritime menjadi sebuah keharusan bagi Indonesia. Saat ini, tidak ada satu negara pun yang tidak mengutamakan diplomasi ekonomi. Semua hubungan antarnegara pada akhirnya berujung pada hitung-hitungan ekonomi. Diplomasi ekonomi diharapkan dapat menopang upaya pemerintah menciptakan perekonomian nasional yang lebih mandiri dan kompetitif. Untuk itu, sasaran diplomasi harus diarahkan untuk mendorong penguatan kerja sama internasional yang dapat mendayagunakan segenap potensi Indonesia sebagai negara kepulauan secara dinamis. Dalam konteks ini, Indonesia perlu menempatkan keberadaan lautnya sebagai suatu keunggulan komparatif dan kompetitif dalam melakukan hubungan dengan bangsa-bangsa di dunia.

Potensi nilai total ekonomi sector kelautan dan perikanan Indonesia yang mencapai lebih 1 triliun dollar AS (Koran Tempo, 5 Oktober 2013) tentu merupakan suatu modal yang lebih dari cukup untuk melaksanakan diplomasi ekonomi maritim. Diplomasi ekonomi maritim harus diterjemahkan ke dalam langkah-langkah konkret yang mengonsolidasikan semua kerja sama internasional yang dapat mendorong pemanfaatan semua potensi dan kekayaan laut Indonesia. Mengingat sektor perikanan merupakan salah satu pilar ekonomi nasional, maka diplomasi ekonomi perlu ditekankan pada upaya peningkatan nilai tambah sector perikanan Indonesia, antara lain dengan merumuskan suatu strategi khusus untuk menembus pasar internasional bagi ekspor perikanan Indonesia.

Selain memprioritaskan pemanfaatan hasil kelautan, diplomasi ekonomi maritime diharapkan dapat mendorong penguatan investasi asing yang dapat menunjang pembangunan di bidang kelautan maupun meningkatkan daya dukung infrastruktur kelautan untuk memanfaatkan sumber daya laut secara baik. Menarik investasi asing di bidang transportasi, pelabuhan, komunikasi, pertambangan, dan pengembangan energy alternatif di sektor kelautan harus menjadi salah satu sasaran utama diplomasi ekonomi maritim.

Untuk menuju poros maritim, terlebih dahulu Indonesia harus berupaya dan memperkuat statusnya ke arah Negara maritim. Untuk itu, Indonesia harus mampu memanfaatkan semua unsur kelautan di sekelilingnya untuk kepentingan nasional. Indonesia juga harus peduli dan merespons berbagai permasalahan keamanan maritime yang mengancam kepentingan nasional dan stabilitas kawasan, dan terkait hal ini, utamanya dalam kerangka penegakan hukum di laut, maka pembentukan badan keamanan laut semacam sea and coast guard menjadi suatu keharusan bagi Indonesia. Diplomasi ekonomi maritim juga perlu menjadi perhatian dalam upaya mendukung pencapaian Indonesia sebagai Negara maritim dan poros maritim dunia, antara lain dengan mengonsolidasikan semua kerja sama internasional yang dapat mendorong pemanfaatan semua potensi dan kekayaan laut Indonesia.

Referensi:
  • Budi Kurniawan Supangat and Dimas Muhamad, “Defining Jokowi’s vision of a maritime axis”, The Jakarta Post, 21 Oktober 2014.
  • Chandra Motik, Hasjim Djalal, Negara kepulauan menuju Negara maritim: 75 tahun Prof. Dr. Hasjim Djalal, MA, Jakarta: Lembaga Laut Indonesia, 2011.
  • “Potensi Kelautan dan Perikanan Indonesia US$ 1,2 T”, Koran Tempo, 5 Oktober 2013.
  • Robert Cribb, Michele Ford, editors, Indonesia beyond the Waters Edge: Managing an Archipelagic State, Publisher: Institute of Southeast Asian Studies, 2009.

Jumat, 20 Maret 2015

Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Upaya Pelestarian Terumbu Karang di Pesisir Pantai Kabupaten Gunungkidul

Negara Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar akan sumber daya lautan yang kaya akan berbagai ekosistem laut seperti terumbu karang. Ekosistem terumbu karang mempunyai manfaat yang bermacam-macam, yaitu sebagai sumber makanan bagi manusia, digunakan sebagai bahan obat-obatan, dimanfaatkan sebagai objek wisata bahari, diperdagangkan untuk hiasan atau untuk akuarium, untuk bahan bangunan, dan sebagai penahan gelombang untuk melindungi pantai dari bahasa abrasi.

Di balik potensi tersebut, aktivitas manusia dalam rangka memanfaatkan potensi sumber daya alam di daerah pantai, baik secara langsung maupun tidak langsung, sering merusak ekosistem terumbu karang. Dengan meningkatnya kerusakan terumbu karang, makin menurun pula fungsi terumbu karang sebagai pelindung pantai dari pukulan ombak serta berkurangnya tempat berkembang biak dari beberapa biota laut yang bernilai ekonomis tinggi bagi kehidupan manusia.

Ada lima macam gangguan utama yang menyebabkan rusaknya terumbu karang di Indonesia, yaitu:
·         Penangkapan ikan dengan bahan beracun; sianida disemprotkan ke terumbu karang sehingga membuat ikan-ikan pingsan dan terapung; dapat mematikan terumbu karang.
·         Penangkapan ikan dengan bahan peledak; peledak rakitan sendiri dilemparkan ke daerah terumbu karang yang tidak terlalu dalam untuk membunuh ikan; hal ini juga akan mematikan larva, ikan kecil, dan terumbu karang.
·         Penambangan terumbu karang untuk bahan bangunan serta produksi kapur.
·         Sedimentasi dan polusi sebagai hasil penebangan hutan, erosi, limbah yang tidak ditangani dengan baik dan buangan industri, juga mematikan terumbu karang.
·         Penangkaran ikan lebih dari potensi lestari yang ada, hal ini tidak secara langsung mematikan terumbu karang tetapi juga mengurangi keanekaragaman dari ikan karang serta biota laut lainnya di sekitar karang (Pakpahan, 1996 : 2-3)

Kegiatan-kegiatan tersebut tidak saja langsung membunuh populasi ikan, tetapi juga merusak lingkungan terumbu karang sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya sebagai pelindung pantai, tempat berlindungnya ikan, tempat mencari makan dan bertelur bagi beberapa jenis biota laut yang penting.

Pengelolaan terumbu karang tidak dapat hanya dipercayakan kepada salah satu instansi saja, tetapi harus dilaksanakan secara terpadu, termasuk masyarakat pengguna. Tanpa keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, termasuk ekosistem terumbu karang, maka pelaksanaan pengelolaan tidak akan berhasil. Masyarakat menganggap pengelolaan terumbu karang, maka pelaksanaan pengelolaan terumbu karang, maka pelaksanaan pengelolaan tidak akan berhasil. Masyarakat menganggap pengelolaan terumbu karang menjadi tanggung jawab instansi pemerintah saja sehingga peran masyarakat dalam memanfaatkan potensi terumbu karang disertai dengan pengelolaan untuk menjaga kelestariannya dirasa masih kurang. Hal ini dapat dilihat bahwa dalam prakteknya masih ada nelayan di wilayah sepanjang pesisir pantai Gunung Kidul yang dalam menjalankan operasinya, menggunakan alat-alat penangkap yang membahayakan ekosistem sumber daya terumbu karang seperti bahan kimia beracun. Demikian pula banyak masyarakat pantai yang mengambil batu karang baik yang masih hidup maupun yang sudah mati untuk dijadikan souvenir untuk dijual kepada wisatawan.

Mengenai peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997. Hal ini diatur dalam Pasal 5, 6, 7, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 yang mengatur hak, kewajiban, dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 5, 6, 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 berbunyi :

Pasal 5
1.       Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
2.       Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.
3.       Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Pasal 6
1.       Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan.
2.       Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 7
1.       Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
2.       Pelaksanaan ketentuan pada ayat (1) di atas, dilakukan dengan cara:
a.       meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;
b.       menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;
c.        menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial;
d.       memberikan saran pendapat;
e.        menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan.

Ketentuan-ketentuan tersebut mengatur peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Ekosistem terumbu karang sebagai bagian dari lingkungan hidup juga memerlukan peran masyarakat dalam pengelolaannya sehingga terumbu karang terjaga kelestariannya. Namun, masih banyak masyarakat di sepanjang pantai Gunung Kidul yang belum mengetahui dan menyadari hak, kewajiban, dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup terutama dalam pelestarian terumbu karang sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997.

Di Provinsi Yogyakarta terdapat beberapa macam pantai berterumbu karang, diantaranya Pantai Baron, Pantai Kukup, dan Pantai Drini. Pantai-pantai ini merupakan ekosistem pantai berterumbu karang yang mempunyai manfaat besar bagi kehidupan manusia, untuk itu perlu dijaga kelestariannya. Upaya melestarikan terumbu karang memerlukan peran serta masyarakat dalam mewujudkannya.

Pada prateknya peran serta masyarakat dalam pelestarian terumbu karang masih kurang. Hal ini karena peran serta masyarakat yang tinggal disekitar pantai untuk melestarikan ekosistem terumbu karang masih rendah.rendahnya kesadaran masyarakat untuk berperan dalam pelestarian terumbu karang tidak terlepas dari faktor tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat yang rendah serta kondisi tanah per- tanian yang tidak menjajikan. Dengan alasan demi mencari makan, masyarakat berusaha memenfaatkan potensi yang ada tanpa tanpa memikirkan dampaknya terhadap lingkungan hidup. Penyebab lain ialah kurang disosialisasikannya peraturan lingkungan  hidup dan tidak adanya tindakan yang tegas terhadap pelanggar.

Upaya untuk meningkatkan kesadaranmasyarakat yang telah dilakukan adalah mengadakan penyuluhan, tetapi penyuluhan yang dilakukan ialah mengenai lingkungan hidup secara umum, sedangkan penyuluhan khusus mengenai terumbu karang hampir tidak pernah ada upaya lain yang dilakukan ialah memberikan bimbingan mengenai pemanfaatan sumber hayati laut dan ekosistem terumbu karang secara lestari dan budidaya. Hal ini tidak dipatuhi oleh masyarakat karena masyarakat biasanya menginginkan hasil yang besar dan cepat sehingga pendapatannya juga besar.

Untuk itu perlu diupayakan pengembangan mata pencaharian alternatif yang bersifat berkelanjutan bagi masyarakat yang selama ini memfaatkan sumber daya dari terumbu karang, dan lebih diso- sialisasikannya peraturan lingkungan hidup dan diperlukannya pula keberanian untuk mengambil tindakan yang tegas terhadap pelanggar. Yang paling utama adalah menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk berperan  dalam pelestarian ekosistem terumbu karang dan memberikan pemahaman yang kuat kepada masyarakat bahwa kelestarian terumbu karang sangat bearti bagi kehidupan masyarakat sekarang dan generasi yang akan datang. Pemerintah harus memberikan informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat segala usaha / kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan ekosistem pantai. Masyarakat harus dilibatkan perannya sebagai pengawas sosial untuk menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang. Hal ini dapat tercapai kalau kepa- haman dan kesadaran masyarakat sudah kuat. Masyarakat juga harus dilibatkan dalam pengambila putusan untuk setiap usaha / kegiatan, baik yang dilakukan pemerintah maupun swasta.

DAFTAR PUSTAKA

  • Anonim., 1997. “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden R.I., Jakarta.
  • Hardjasoemantri, K. 1993. “Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
  • Pakpahan, A. 1996. “Kebijaksanaan PengelolaanTerumbu Karang sebagai Bagian Wilayah Pesisir dan Laut Dalam Pelita VI”, Seminar Aktivitas Bawah Air, Surabaya.

Sabtu, 14 Maret 2015

Wajah Pantai Utara Jawa : Bahaya Erosi Pantai Jawa Tengah.





Indonesia adalah Negara dengan bentangan pantai terpanjang, setelah Kanada. Panjangnya bentangan wilayah pantai Indonesia akan mendatangkan banyak dampak bagi lingkungan sekitar pantai. Salah satu diantaranya adalah proses geomorfologis yang lebih kompleks, termasuk didalamnya kerusakan lingkungan pesisir akibat bencana alam.
Jawa Tengah, dengan luas 32,548.20 Km² terletak antara garis lintang 6 ° -7 ° 30'S dan garis bujur 108 ° 30'-112 ° 00'E, memiliki fitur geomorfologi yang kompleks yaitu, dataran yang lebih rendah di dekat pantai utara dan selatan, dan pegunungan di kawasan tengah. Selain genangan dari air laut dan banjir, beberapa wilayah pesisir di Provinsi Jawa Tengah mengalami proses erosi dan sedimentasi yang menyebabkan kerusakan fasilitas umum, daerah pariwisata, perkebunan dan permukiman masyarakat pesisirnya. Daerah pesisir di Kota Semarang, Kabupaten Tegal dan Kabupaten Demak dapat dianggap sebagai wilayah paling dinamis yang telah mengalami proses erosi-sedimentasi di Jawa Tengah.
Erosi pantai di Provinsi Jawa Tengah sangat dipengaruhi oleh proses alam seperti gerakan sedimen di pantai akibat cross-shore dan long-shore, ketinggian air yang dinamis di daerah pesisir, yang disebabkan karena aktivitas pasang surut dan juga akibat kenaikan permukaan air laut yang seolah dipercepat akibat pemanasan global. Di lain sisi, erosi pantai juga dapat memberikan pengaruh terhadap perubahan garis pantai
Proses erosi yang paling signifikan terjadi di daerah Semarang, Tegal dan Demak. Semarang merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia dengan total luas 373 Km2 , dengan populasi lebih dari 2 juta, dan terletak di pantai utara Jawa dan sekitar 500 km sebelah timur dari Jakarta. Secara umum, penggunaan lahan pesisir di Semarang terdiri dari perikanan dan pertanian, perumahan, kawasan industri, penggunaan lahan untuk publik dan komersial. Proses erosi pantai yang paling parah di Semarang dapat dilihat dari dampaknya terhadap penggunaan lahan, ekologi pantai, properti dan infrastruktur daerah dataran rendah kota.
Hasil pantauan mengenai  erosi pantai menggunakan interpretasi visual Peta topografi Tahun 1908, 1937, 1992 dan citra Ikonos Tahun 2003 menunjukkan hasil bahwa selama periode 1937-1972 telah terjadi erosi yang signifikan di sepanjang pantai Semarang dan selama tahun 1972 dan 1992 beberapa tempat telah mengalami pengikisan sekitar 500 meter lahan pesisir di daerah tersebut. Selama periode 1992-2001, pergeseran sebagian garis pantai yang terjadi telah menunjukkan bahwa erosi yang kuat juga terjadi.
Proses erosi telah mengubah landscape pesisir. Sebagai contoh, erosi pantai telah terjadi sekitar 461 m kearah daratan dan menyebabkan kerugian sejak 1972-1992. Beberapa infrastruktur, bangunan dan lahan pertanian juga mengaalami kerusakan. 

Area pantai Kota Semarangy, Jawa tengah, Indonesia

Untuk mengurangi risiko erosi pantai di Semarang, pemerintah telah menerapkan Langkah-langkah struktural, diantaranya yaitu membangun dinding dan pemecah gelombang  (wave breakers) di sepanjang pantai. Namun hal ini dirasakan sebagai tindakan yang gagal dalam memecahkan seluruh masalah erosi pantai yang di Semarang. Di masa depan, kerjasama antara pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan untuk mendatangkan mitigasi ancaman erosi yang lebih dan diharapkan dapat mengurangi dan melindungi lingkungan pesisir dari degradasi lebih lanjut.
Sementara itu, pantai Tegal yang terletak di wilayah perkotaan juga mengalami dampak negatif dari erosi pada penggunaan lahan perikanan, perumahan, industri, masyarakat dan lahan komersial. Menurut Sartohadi et al. (2009) pantai Tegal terdiri atas pasir yang lebih besar dalam ukuran butir disertai induksi dari partikel bahan berlumpur. Sayangnya, pasir kurang kohesif dan relatif mudah untuk mengikis sehingga lebih mudah mengakibatkan degradasi lingkungan. Elevasi permukaan rentang Kabupaten Tegal bervariasi, dari 0 m sampai dengan 925 m di atas permukaan laut dan pada umumnya, kemiringan garis pantai yang curam memungkinkan untuk gelombang jatuh lebih dekat dengan garis pantai sehingga meningkatkan erosi pantai.


Area pantai Tegal, Jawa Tengah, Indonesia

Proses erosi intensif terjadi di sepanjang pesisir Tegal. Diperkirakan erosi terjadi hingga 250 m ke arah daratan. Hal ini menjadi ancaman besar bagi masyarakat pesisir. Kehilangan lahan dan kerusakan pemukiman pesisir sangat mungkin terjadi. Hal ini sejalan dengan laporan dari Badan Pemantauan Dampak Lingkungan (Bapedalda) tahun 2002 yang menyatakan hilangnya lahan karena erosi pantai di sepanjang pantai utara sekitar 2.910 hektar dalam lima tahun terakhir.
Masyarakat pesisir di Tegal menanggapi masalah erosi dengan melakukan penanaman bakau dan membangun struktur seperti ripraps, seawalls, jetties dan groins. Groins, yang dibangun oleh Pemerintah local pada tahun 2001, telah cukup efektif dalam mengurangi erosi pada titik-titik tertentu di sepanjang garis pantai. Mereka juga telah mengubah daerah menjadi daya tarik wisata. Selain itu, hutan Bakau hasil rehabilitasi akan turut mengurangi ancaman erosi dan juga memproduksi makanan untuk ikan melalui fotosintesis dari bahan organic yang ada.

Perubahan garis pantai sejak 1944 sampai 2005 yang mengindikasikan proses erosi telah terjadi di kawasan pantai Tegal

 Erosi kawasan pantai yang mengakibatkan hilangnya daratan dan permukiman permanen di Tegal


Di Demak erosi pantai telah menjadi issue yang sering diperbincangkan. Demak sendiri merupakan bagian dari Provinsi Jawa Tengah, terletak berdampingan dengan Semarang, dan mencakup area seluas 88.743 ha yang terdiri dari 14 kecamatan dan 249 desa.
Perubahan penggunaan lahan yang intensif dari hutan mangrove menjadi tambak dan budidaya lainnya mengakibatkan erosi pantai. Selain itu, pengembangan pelabuhan dan pantai reklamasi di Semarang juga mempercepat perubahan garis pantai Demak. Perubahan garis pantai dan intensnya erosi pantai di Demak mengakibatkan 200 keluarga terpaksa dipindahkan dan 300 ha tambak tenggelam dalam proses. 

 
Struktur penahan gelombang (Groin) (A) Area perlindungan pantai untuk aktivitas pengunjung (B)

 
Area pantai Demak dari citra satelit Landsat
 
Pemerintah daerah telah memperkuat koordinasi antar instansi pemerintah untuk mengatasi masalah erosi pantai. Kantor Lingkungan Hidup / KLH, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (Kementrian Kelautan dan Perikanan), dan Departemen Pertanian Republik Indonesia (Kementrian Pertanian) juga melibatkan pada tindakan mitigasi pesisir terhadap proses erosi. Pemerintah lokal juga telah membangun tanggul di sepanjang pesisir untuk memblokir gelombang dan gelombang

Bentuk pertahanan pantai secara struktural di Demak


Sketsa area penanaman mangrove kembali di daerah kawasan pantai Demak

Selain itu, masyarakat dan pemerintah daerah juga telah mengambil tindakan untuk mengatasi bahaya erosi pesisir dengan menerapkan penanaman kembali pohon bakau. Program penanaman Mangrove ini dapat merevitalisasi lahan pantai yang terkikis oleh gelombang. Meskipun penanaman kembali pohon bakau hanya dilaksanakan di beberapa daerah saja, Pemerintah daerah bermaksud untuk meningkatkan kegiatan ini. Diharapkan dengan adanya penerapan dengan ini masalah erosi di Kabupaten Demak dapat teratasi.
Selain itu, langkah-langkah yang diambil seyogyanya turut meningkatkan keterlibatan partisipasi masyarakat dalam tindakan mitigasi. Meningkatkan kesadaran lingkungan masyarakat juga akan meningkatkan partisipasi mereka dalam rencana pengelolaan yang berkesinambungan. Hal ini dapat dicapai dengan melakukan pelatihan/sosialisasi untuk masyarakat yang ada di pesisir, memberikan bibit mangrove kepada mereka, menjelaskan manfaat pengelolaan pesisir yang tepat, dan menyoroti bagaimana melakukan manajemen abrasi air laut.




Daftar Referensi
  • Bapedalda (2002) Perencanaan kota Tegal 2000-2010. Pemerintah Kota Tegal, Indonesia.

  • Bird ECF, Ongkosongo OSR (1980) Environmental changes on the coasts of Indonesia. United Nations University Press, The United Nations University.

  •  Irwani I, Pribadi R, Helmi M (2010) Studi erosi pesisir Kota Semarang. Jurusan Ilmu Kelautan, FPIK UNDIP. Indonesian Delta Forum Conference, Bakosurtanal, Semarang 21-22 October.